PENERAPAN KEBIJAKAN PELAYANAN PUBLIK BAGI MASYARAKAT DENGAN KEBUTUHAN KHUSUS

PENERAPAN KEBIJAKAN PELAYANAN PUBLIK BAGI MASYARAKAT DENGAN KEBUTUHAN KHUSUS

BAB I
Pendahuluan
Dalam konteks negara modern, pelayanan publik telah menjadi lembaga dan profesi yang semakin penting. Ia tidak lagi merupakan aktivitas sambilan, tanpa payung hukum, gaji dan jaminan sosial yang memadai, sebagaimana terjadi di banyak negara berkembang pada masa lalu.
Sebagai sebuah lembaga, pelayanan publik menjamin keberlangsungan administrasi negara yang melibatkan pengembangan kebijakan pelayanan dan pengelolaan sumberdaya yang berasal dari dan untuk kepentingan publik. Sebagai profesi, pelayanan publik berpijak pada prinsip-prinsip profesionalisme dan etika seperti akuntabilitas, efektifitas, efisiensi, integritas, netralitas, dan keadilan bagi semua penerima pelayanan.
Menguatnya embusan globalisasi, demokratisasi, dan desentralisasi membawa peluang sekaligus tantangan tersendiri bagi pelayanan publik, khususnya pelayanan sosial bagi masyarakat dengan kebutuhan khusus. Dengan memfokuskan pada kelompok penyandang cacat dan lanjut usia, makalah ini membahas bagaimana Departemen Sosial menerapkan kebijakan pelayanan sosial terhadap kelompok yang kurang beruntung ini.

BAB II
Kebijakan dan pelayanan publik
Kebijakan publik adalah keputusan-keputusan yang mengikat bagi orang banyak pada tataran strategis atau bersifat garis besar yang dibuat oleh pemegang otoritas publik.
Sebagai keputusan yang mengikat publik maka kebijakan publik haruslah dibuat oleh otoritas politik, yakni mereka yang menerima mandat dari publik atau orang banyak, umumnya melalui suatu proses pemilihan untuk bertindak atas nama rakyat banyak.
Selanjutnya, kebijakan publik akan dilaksanakan oleh administrasi negara yang di jalankan oleh birokrasi pemerintah. Fokus utama kebijakan publik dalam negara modern adalah pelayanan publik, yang merupakan segala bentuk jasa pelayanan, baik dalam bentuk barang maupun jasa publik yang pada prinsipnya menjadi tanggung jawab dan dilaksanakan oleh negara untuk mempertahankan atau meningkatkan kualitas kehidupan orang banyak (Wikipedia, 2008).
Dalam pelaksanaannya, kebijakan publik ini harus diturunkan dalam serangkaian petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknis yang berlaku internal dalam birokrasi.
Sedangkan dari sisi masyarakat, yang penting adalah adanya suatu standar pelayanan
publik, yang menjabarkan pada masyarakat apa pelayanan yang menjadi haknya, siapa yang bisa mendapatkannya, apa persyaratannnya, juga bagaimana bentuk layanan itu.
Untuk mewujudkan keinginan tersebut dan menjadikan kebijakan tersebut efektif, maka diperlukan sedikitnya tiga hal:
1.  Adanya perangkat hukum berupa peraturan perundang-undangan sehingga dapat   
    diketahui publik apa yang telah diputuskan.
2. Kebijakan ini harus jelas struktur pelaksana dan pembiayaannya.
3. Adanya kontrol publik, yakni mekanisme yang memungkinkan publik
    mengetahui apakah kebijakan ini dalam pelaksanaannya mengalami penyimpangan atau
    tidak (Wikipedia, 2008).
Dalam masyarakat otoriter kebijakan dan pelayanan publik seringkali hanya berdasarkan keinginan penguasa semata. Sehingga penjabaran tiga hal di atas tidak berjalan. Tetapi dalam masyarakat demokratis, yang kerap menjadi persoalan adalah bagaimana menyerap opini publik dan membangun suatu kebijakan yang mendapat dukungan publik.
Kemampuan para pemimpin politik berkomunikasi dengan masyarakat guna menampung keinginan mereka adalah penting. Tetapi sama pentingnya adalah kemampuan para pemimpin untuk menjelaskan pada masyarakat kenapa suatu keinginan tidak bisa dipenuhi.
Adalah naif untuk mengharapkan bahwa ada pemerintahan yang bisa memuaskan seluruh masyarakat setiap saat. Namun, adalah otoriter suatu pemerintahan yang tidak memperhatikan dengan sungguh-sungguh aspirasi dan berusaha mengkomunikasikan kebijakan yang berjalan maupun yang akan dijalankannya.

BAB III
Tantangan global
Saat ini tantangan utama negara-bangsa di seluruh dunia bukan lagi isu perang dingin.
Melainkan meningkatnya kompleksitas kemiskinan, konflik etnis, penguatan demokrasi dengan segala resikonya, serta globalisasi ekonomi termasuk perubahan peran dan interaksi antara negara, pasar, dan masyarakat madani. Selain itu, aspirasi dan tuntutan masyarakat juga semakin meningkat akibat semakin terbukanya informasi dan meningkatnya kesadaran hak-hak warga negara.
Perubahan global ini telah mengubah lingkungan dimana pemerintahan beroperasi, menantang peran tradisional negara, dan memperkenalkan aktor-aktor baru pada proses pembangunan dan kepemerintahan (governance). Transformasi global ini juga menuntut reformulasi peran dan tanggung jawab para pegawai negeri sebagai pengelola sumber-sumber publik dan penjaga mandat kepercayaan masyarakat.
Eskalasi perubahan global ini juga telah menimbulkan isu-isu moral seperti penyalahgunaan kekuasaan, korupsi, crony capitalism, “sweatheart deal” privatization, dan perilaku pemerintah yang tidak profesional dan etis lainnya (UNDESA, 2000).
Studi-studi menunjukkan bahwa rendahnya kualitas dan efektifitas pelayanan publik telah melahirkan dampak multidimensional. Secara sosial-politik, buruknya pelayanan publik menimbulkan erosi kepercayaan dan sinisme warga terhadap pemerintah yang pada gilirannya meruntuhkan ketertiban dan kedamaian pada masyarakat.
Secara ekonomi, korupsi dan rendahnya akuntabilitas institusi publik bukan saja telah mengurangi anggaran pelayanan bagi rakyat banyak. Melainkan pula telah menghambat perekonomian. Bukti-bukti empiris di banyak negara memperlihatkan bahwa korupsi memiliki dampak negatif yang signifikan dan luas terhadap investasi dan perdagangan.
Sebaliknya, korupsi yang rendah memacu investasi dan pertumbuhan ekonomi.
Analisis Regresi yang dilakukan Paul Mauro (1998) menunjukkan bahwa sebuah negara yang mampu memperbaiki indeks korupsinya, misalnya dari 6 ke 8 (0 adalah indeks korupsi tertinggi dan 10 terendah) mengalami peningkatan 4 persen dalam tingkat investasi dan 0,5 persen dalam pertumbuhan GDP tahunannya.

BAB IV
Pergeseran paradigma
Sebagai bagian dari respon terhadap tantangan global di atas, telah terjadi pergeseran paradigma dalam pelayanan publik. Tiga pergeseran di bawah ini penting dicatat.
1.  Dari problems-based services ke rights-based services. Pelayanan sosial yang
    dahulunya diberikan sekadar untuk merespon masalah atau kebutuhan masyarakat, kini
    diselenggarakan guna memenuhi hak-hak sosial masyarakat sebagaimana diamanatkan
    oleh konstitusi nasional dan konvensi internasional.
2. Dari rules-based approaches ke outcome-oriented approaches. Pendekatan pelayanan
    publik cenderung bergeser dari yang semata didasari peraturan normatif menjadi
    pendekatan yang berorientasi kepada hasil. Akuntabilitas, efektifitas dan efisiensi
    menjadi kata kunci yang semakin penting.
3. Dari public management ke public governance. Menurut Bovaird dan Loffler (2003),
    dalam konsep manajemen publik, masyarakat dianggap sebagai klien, pelanggan atau
    sekadar pengguna layanan sehingga merupakan bagian dari market contract. Sedangkan
    dalam konsep kepemerintahan publik, masyarakat dipandang sebagai warga negara yang
    merupakan bagian dari social contract.
Namun demikian, ini tidak b erarti bahwa paradigm baru menafikan sama sekali paradigma lama. Meski paradigma baru cenderung semakin menguat, diantara keduanya senantiasa ada persinggungan dan kadang saling mendukung.

BAB V
Situasi Indonesia
Pelayanan publik di Indonesia cenderung memiliki beberapa permasalahan yang mendasar. Selain efektifitas pengorganisasian dan partisipasi publik dalam penyelenggaraan pelayanan masih relatif rendah, pelayanan publik juga belum
memiliki mekanisme pengaduan dan penyelesaian sengketa. Akibatnya, kualitas produk layanan juga belum memuaskan para penggunanya.
Selain itu, pelayanan publik di Indonesia juga belum responsif terhadap masyarakat
dengan kebutuhan khusus, termasuk terhadap kelompok rentan, penyandang cacat, lanjut usia dan komunitas adat terpencil.
Sebagai contoh, nasib anak berkebutuhan khusus atau penyandang cacat di Indonesia, sangat memprihatinkan dan jauh tertinggal dibanding di negara Asia lainnya. Nasib mereka masih terpinggirkan hampir di semua sektor, mulai pendidikan, pekerjaan, hingga ketersediaan fasilitas publik yang bersahabat (Suara Pembaruan, 23 Juli 2008).
Diakui, memang sudah ada regulasi tentang penyandang cacat, yakni UU 4/1997 dan diperkuat lagi dengan UU 23/2002 tentang Perlindungan Anak yang di dalamnya diatur soal anak-anak penyandang cacat. Namun, dalam kenyataannya instrumen legal ini belum dapat diimplementasikan secara efektif. Sejumlah aturan yang mengharuskan keberpihakan pada penyandang cacat tidak dipatuhi, baik oleh masyarakat, kalangan swasta maupun pemerintah sendiri.
Belum lama ini Departemen Pendidikan Nasional memangkas anggaran pendidikan untuk anak-anak penyandang cacat. Kebijakan pemerintah memangkas anggaran pendidikan bagi anak-anak penyandang cacat dari Rp 300 miliar pada tahun anggaran 2007 menjadi Rp 130 miliar untuk anggaran 2008, jelas merupakan langkah diskriminatif.
Sebab, anak luar biasa membutuhkan pelayanan khusus. Mereka seharusnya mendapat perhatian khusus atau minimal sama dengan anak biasa (normal) pada umumnya dalam mendapatkan hak pendidikan. Anak berkebutuhan khusus memiliki keperluan yang berbeda dengan anak normal. Untuk membeli alat tulis misalnya, anak normal cukup mengeluarkan sekitar Rp 500-Rp 1.000. Bagi anak tunanetra (buta) pengeluaran untuk alat tulis huruf Braille bisa mencapai Rp 15.000.
Selain persoalan UU yang ada belum diimplementasikan sebagaimana mestinya, sehingga hanya menjadi dokumen belaka, anggota masyarakat juga masih banyak yang menganggap kelompok rentan dan berkebutuhan khusus sebagai orang yang tak layak masuk dalam ruang publik. Wujudnya, pandangan sinis hingga sikap yang secara langsung maupun tidak langsung mengeliminasi orang cacat atau lanjut usia dari kehidupan sosial.

BAB VI
Peran Depsos
Depsos adalah lembaga pemerintah yang fungsi utamanya menjalankan pembangunan kesejahteraan sosial. Pembangunan kesejahteraan sosial pada intinya merupakan seperangkat kebijakan, program dan kegiatan pelayanan sosial yang dilakukan melalui pendekatan rehabilitasi sosial, perlindungan sosial dan pemberdayaan sosial guna
meningkatkan kualitas hidup, kemandirian, dan terpenuhinya hak-hak dasar masyarakat (Suharto, 2008a).
Sasaran utama pembangunan kesejahteraan sosial adalah kelompok-kelompok lemah dan kurang beruntung yang dikenal dengan istilah Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS) atau Pemerlu Pelayanan Sosial (PKS) (Suharto, 2008b).
Lima permasalahan sosial yang menjadi target Depsos mencakup kemiskinan, ketelantaran, kecacatan, keterasingan, dan ketunaan sosial.
Dalam garis besar, penerapan kebijakan pelayanan sosial difokuskan pada lima program, yaitu:
1.  Program pengembangan potensi kesejahteraan sosial, seperti organisasi sosial, Lembaga
    Swadaya Masyarakat, dan dunia usaha dalam upaya memperluas jangkauan pelayanan
    sosial.
2. Program peningkatan kualitas manajemen dan profesionalisme pelayanan sosial. Tujuan
    utamanya adalah meningkatnya mutu dan profesionalisme pelayanan sosial melalui
    pengembangan alternatif-alternatif strategi pekerjaan sosial, standardisasi dan
    legislasi pelayanan sosial.
3. Program pengembangan keserasian kebijakan publik dalam penanganan masalah-masalah
    sosial. Tujuan utamanya adalah terwujudnya koordinasi dan jaringan kerja yang dapat
    meningkatkan sistem perlindungan dan ketahanan sosial masyarakat sehingga mereka
    mampu merespon gelagat dan dampak perubahan sosial di sekitarnya.
4. Program pengembangan sistem informasi kesejahteraan sosial. Tujuannya adalah
    mengidentifikasi data dan informasi kesejahteraan sosial yang diperlukan bagi
    perumusan kebijakan sosial, mekanisme peringatan dini, dan koordinasi jaringan
    kelembagaan dalam mengendalikan masalah-masalah sosial.
5. Program peningkatan peran serta masyarakat dan pengarusutamaan jender. Program ini
    bertujuan utnuk meningkatkan partisipasi publik dan peran lembaga-lembaga
    pemberdayaan perempuan.

BAB VIII
Pelayanan sosial bagi penyandang cacat
Pusat Data dan Informasi (Pusdatin) Depsos memperkirakan jumlah penyandang Cacat pada tahun 2006 adalah sekitar 2,429,708 atau 1,2 persen dari total penduduk (Suharto, 2007). Survey yang dilakukan Pusdatin Depsos pada tahun 2007 menunjukkan bahwa, populasi penyandang cacat adalah sekitar 3,11 persen dari total penduduk Indonesia. Jika jumlah penduduk tercatat 220 juta, maka jumlah penyandang cacat mencapai 7,8 juta jiwa.
Kecacatan adalah hilangnya atau abnormalitasnya fungsi atau struktur anatomi, psikologi maupun fisiologi seseorang. Menurut Undang Undang Nomor 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat, penyandang cacat diklasifikasikan dalam tiga jenis kecacatan yaitu cacat fisik, cacat mental, serta cacat fisik dan mental yang dikenal dengan “cacat ganda”.
Kecacatan menyebabkan seseorang mengalami keterbatasan atau gangguan yang mempengaruhi keleluasaan aktivitas fisik, kepercayaan dan haraga diri, hubungan antar manusia maupun dengan lingkungannya. Permasalahan sosial yang timbul dari kecacatan antara lain adalah ketidakberfungsian sosial, yakni kurang mampunya penyandang cacat melaksanakan peran-peran sosialnya secara wajar.
Masalah kecacatan juga akan semakin berat bila disertai dengan masalah kesejahteraan sosial lainnya seperti kemiskinan, keterlantaran dan keterasingan.
Kondisi seperti ini menyebabkan hak penyandang cacat untuk tumbuh kembang dan berkreasi sebagaimana orang-orang yang tidak cacat tidak dapat terpenuhi.
Masalah yang masih dihadapi dalam kaitannya dengan pelayanan sosial bagi penyandang cacat adalah:
1. Belum tersedianya data yang akurat dan terkini tentang karakteristik kehidupan dan
    penghidupan berbagai jenis penyandang cacat.
2. Belum memadainya jumlah dan kualitas tenaga spesialis untuk berbagai jenis kecacatan.
3. Terbatasnya sarana pelayanan sosial dan kesehatan serta pelayanan lainnya yang
    dibutuhkan oleh penyandang cacat, termasuk aksesibilitas terhadap pelayanan umum
    yang dapat mempermudah kehidupan penyandang cacat.
4. Terbatasnya lapangan kerja bagi mereka (Depsos, 2003).
Pelayanan sosial bagi penyandang cacat yang dilakukan Depsos meliputi:
1.  Pelayanan sosial di rumah (home care services) untuk konseling perlakuan dalam situasi
    rumah, terapi fisik, diagnosis dan perantara untuk penempatan dalam institusi sekolah,
    rujukan pelayanan rehabilitasi sosial, lapangan kerja, pelayanan alat bantu khusus bagi
    penyandang cacat dan aktivitas waktu luang.
2. Pelayanan rehabilitasi dan dukungan untuk melaksanakan kehiduppan secara mandiri,
    meliputi usaha bimbingan fisik, mental, motorik dan mobilitas, terapi sikap dan perilaku.
3. Jaminan perlindungan dan aksesibilitas terhadap pelayanan publik.
4. Bimbingan terapi kerja, praktek belajar kerja serta pemberian bantuan usaha
    ekonomis produktif secara kelompok usaha bersama (KUBE) serta pengembangan
    budaya kewirausahaan.
5. Standardisasi pelayanan sosial.
6. Pengembangan sistem rujukan, advokasi dan pemberian kuota pekerjaan, serta
    bibimbingan resosialisasi dan penyaluran dengan mendayugunakan  mekanisme Unit
    Pelayanan Sosial Keliling (UPSK), Loka Bina Karya (LBK), Rehabilitasi Berbasis
    Masyarakat (RBM) dan Pusat Pelatihan Keterampilan Kerja Penyandang Cacat serta
    lembaga pelayanan sosial lainnya.
7. Selain itu, untuk meningkatkan apreasi masyarakat terhadap hak asasi penyandang
    cacat dilakukan penyuluhan dan peningkattan sensitivitas masyarakat terhadap
    kehidupan penyandang cacat, advokasi dan perbaikan kurikulum lembaga-lembaga
    pendidikan dan latihan (Depsos, 2003).

BAB IX
Pelayanan sosial bagi lanjut usia
Meningkatnya pendapatan masyarakat, membaiknya status kesehatan dan gizi masyarakat, dan perubahan pola hidup telah meningkatkan usia harapan hidup dan populasi lanjut usia di Indonesia. Saat ini, Indonesia telah memasuki era penduduk berstruktur lanjut usia (ageing structured population).
Jika pada tahun 1980, rata-rata penduduk yang berusia lebih dari 60 tahun “hanya” sekitar 5,45 persen dari total penduduk. Maka pada tahun 1990 dan 2000, prosentasenya meningkat menjadi 6,29 persen dan 7,18 persen. Pada tahun 2010 dan 2020, prosentase lanjut usia diperkirakan akan meningkat lagi menjadi 9,77 persen dan 11,34 persen dari keseluruhan penduduk Indonesia (Depsos, 2008; Suharto, 2008c).
Tantangan utama yang dihadapi akibat meningkatnya jumlah lanjut usia, terutama mereka yang tidak potensial dan terlantar, adalah penyediaan perlindungan sosial baik yang bersifat formal maupun informal. Penyiapan lapangan kerja yang sesuai dengan kemampuan fisik lanjut usia merupakan tantangan lain bagi mereka yang masih potensial.
Isu-isu lain yang terkait dengan kelanjut usiaan antara lain adalah
1.  Belum adanya data lanjut usia yang akurat.
2. Masih terjadinya duplikasi pelaksanaan program pelayanan sosial.
3. Jumlah lembaga pelayanan sosial lanjut usia tidak sebanding dengan jumlah dan
    kompleksitas permasalahan lanjut usia.
4. Kurangnya informasi mengenai program dan pelayanan sosial kepada masyarakat.
5. Penyediaan aksesibilitas lanjut usia pada prasarana dan saranan umum masih sangat
    terbatas (Depsos, 2008).
Pelayanan sosial bagi lanjut usia yang dilakukan Depsos meliputi tiga sistem (Depsos,
2008):
1. Pelayanan sosial dalam panti (institutional-based services):
   - Pelayanan sosial reguler dalam Panti Sosial Tresna Wredha (PSTW) di 243 panti
      untuk  memenuhi kebutuhan hidup 11.416 lansia secara layak.
   - Pelayanan harian (daycare services). Pelayanan sosial yang disediakan bagi lanjut
      usia yang bersifat sementara, dilaksanakan pada siang hari pada waktu tertentu.
   - Pelayanan subsidi silang.
2. Pelayanan sosial luar panti (community-based services)
   - Home Care. Pelayanan sosial bagi lanjut usia yang tidak potensial yang berada
     dilingkungan keluarganya. Misalnya, pemberian bantuan pangan, bantuan kebersihan,
     perawatan kesehatan, pendampingan, reksreasi, konseling dan rujukan. Pada tahun
     2008 tercatat 5.812 lanjut usia yang menerima pelayanan ini di 33 provinsi.
   - Foster Care. Pelayanan sosial bagi lanjut usia terlantar melalui keluarga orang lain.
   - Jaminan sosial yang berupa tunjangan uang sebesar Rp. 300.000 per orang per
     bulan. Pelayanan ini telah dilakukan sejak tahun 2006 di 6 provinsi terhadap 2.500
     lanjut usia. Pada tahun 2007 diterapkan di 10 provinsi terhadap 3.500 lanjut usia.
     Pada tahun 2008, lanjut usia yang menerima pelayanan ini menjadi 10.000 orang yang
     tersebar di 15 provinsi.
   - Pemberdayaan lanjut usia potensial melalui Usaha Ekonomi Produktif (UEP) dan
     Kelompok Usaha Bersama (KUBE). Di 33 provinsi, UEP menjangkau 14.218 orang dan
     KUBE menjangkau 6.320 orang.
   - Pelayanan sosial masyarakat yang dilakukan melalui Pusat Santunan Keluarga
     (PUSAKA) dan Karang Lansia. Misalnya, di DKI Jakarta terdapat 115 PUSAKA dan
     53 Karang Lansia yang melayani 5.615 orang.
3. Pelayanan terobosan (uji coba):
   - Uji coba pelayanan harian lanjut usia di 5 lokasi, yaitu di PSTW Budhi Dharma Bekasi,
     Karang Wredha Yudistira Sidoarjo, PSTW Puspa Karma Mataram, Medan dan Kupang.
   - Uji coba Trauma Center Lanjut Usia di 5 lokasi, yaitu DKI Jakarta, Jawa Barat,
     Yogyakarta, NTB, dan Makassar.
   - Uji coba Home Care di 6 lokasi, yaitu di DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah,
     Nanggro Aceh Darussalam, dan Kalimantan Selatan.
   - Pelayanan dukungan di bidang kesehatan (seperti Puskesmas Santun Lansia dan
     Pengobatan Gratis/Kartu Gakin/JKM), ketenagakerjaan (penyiapan Pra Lansia
     memasuki lanjut usia), dan transportasi (reduksi tiket bagi lanjut usia).

BAB X
Referensi
Bovaird, Tonny dan Elke Loffler (2003), Public Management and Governance,
          London: Routledge
Depsos (2003), Pedoman Umum Program Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial, Jakarta:
          Depsos RI
Depsos (2008), Kebijakan dan Program Pelayanan dan Perlindungan Kesejahteraan
          Sosial Lanjut Usia
, Jakarta: 2008
Mauro, Paul (1998), “Corruption: Causes, Consequences, and Agenda for Further
          Research” dalam Finance & Development, A Quarterly Publication of IMF
          and the World Bank, March, hal.12
Suara Pembaruan (2008), “Permasalahan Anak Seperti Gunung Es”, Koran Suara
          Pembaruan
, edisi 23 Juli
Suharto, Edi (2007), “Roles of Social Workers in Indonesia: Issues and Challenges in
          Rehabilitation for Persons with Disability”, makalah yang disajikan pada The
          Third Country Training on Vocational Rehabilitation for Persons with
          Disabilities
, National Vocational Rehabilitation Centre (NVRC) Cibinong,
          Bogor-Indonesia, 14 Agustus
Suharto, Edi (2008a), Kebijakan Sosial Sebagai Kebijakan Publik, Bandung: Alfabeta
          (Cetakan Kedua)
Suharto, Edi (2008b), Analisis Kebijakan Publik, Bandung: Alfabeta (Cetakan keempat)
Suharto, Edi (2008c), “Trend Lansia dan Pelayanan Sosial yang Harus Disediakan:
          Perspektif Pekerjaan Sosial” , makalah yang disajikan pada Lokakarya
          Kelanjut Usiaan dan Pelayanan Sosial Modern, Depsos RI, Bogor 23 Maret
UNDESA (United Nations Department of Economic and Social Affairs) (2000),
          Profesionalism and Ethics in the Public service: Issues and Practices in
          selected Regions
, New York: UNDESA
Wikipedia (2008), Pelayanan Publik, http://id.wikipedia.org/wiki/Pelayanan_publik
          (diakses 6 Oktober)
PEMAKNAAN INDONESIA RAYA DALAM KONTEKS KEKINIANĪ¦

PEMAKNAAN INDONESIA RAYA DALAM KONTEKS KEKINIANĪ¦

BAB I 
Pengantar
Baru-baru ini ramai diberitakan media massa, baik cetak maupun elektronik, tentang ditemukannya stanza 2 dan stanza 3 dari lagu kebangsaan kita Indonesia Raya. Dalam kesempatan ini saya tidak mau meributkan “temuan” tersebut, karena sudah sejak duduk di bangku Sekolah Ra’jat (tahun 1962) saya sudah diajarkan oleh guru saya, encik Hasanah dan engku Salim. Kebanyakan murid yang baru bisa nyanyi merasa kesulitan dalam menyanyikan stanza 2 dan 3. Ma’lum, kata-katanya agak sulit untuk dinyanyikan.
Biarlah orang pada ribut dan semoga segera menyadari bahwa apa yang diramaikan itu tidak ada gunanya. Pada hakekatnya banyak hal yang dilupakan dari pesan yang tersirat di balik kata-kata penuh semangat dari lagu kebangsaan itu. Melalui makalah sederhana ini saya ingin menelaah pesan-pesan yang “dilupakan” oleh banyak orang. Tentunya pesan-pesan tersebut dikaitkan dalam konteks kekinian.
Pada abad ke-21 ini, atau tepatnya sejak memasuki era reformasi, pemaknaan lagu kebangsaan Indonesia Raya bagi sebagian masyarakat Indonesia sangat kurang. Layaknya lagu kebangsaan hanya sekedar embel-embel perangkat sebuah negara. Karena kurangnya pengertian terhadap pemaknaan, maka dinyanyikannya pun “sembarang” waktu dan tempat.2 Sebelum reformasi, seingat saya tidak pernah dinyanyikan pada waktu demo menuntut sesuatu kepada pemerintah. Apalagi dinyanyikan tidak dengan suatu penghormatan.
Ditelusuri dari sejarahnya, lagu kebangsaan Indonesia Raya untuk pertama kalinya diperdengarkan pada 27-28 Oktober 1928 ketika berlangsung Kongres Pemuda Indonesia II di Jakarta. Perkenalan Indonesia Raya dibawakan langsung oleh penciptanya W.R. Supratman bersamaan dengan diperkenalkannya bendera Merah Putih sebagai bendera pusaka bangsa Indonesia. Teks lagu untuk pertama kalinya dipublikasikan oleh surat kabar Sin Po. Kemudian pada 26 Juni 1958 dikeluarkan PP No. 44 tentang Lagu Kebangsaan Indonesia Raya.

Indonesia Tanah Airkoe
Tanah Toempah Darahkoe
Disanalah Akoe Berdiri
Djadi Pandoe Iboekoe

Indonesia Kebangsaankoe
Bangsa dan Tanah Airkoe
Marilah Kita Berseroe
Indonesia Bersatoe

Hidoeplah Tanahkoe
Hidoeplah Negrikoe
Bangsakoe Ra'jatkoe Sem’wanja
Bangoenlah Jiwanja
Bangoenlah Badannja
Oentoek Indonesia Raja

Reff:
Indonesia Raya Merdeka Merdeka
Tanahkoe Negrikoe jang Koetjinta
Indonesia Raja Merdeka Merdeka
Hidoeplah Indonesia Raja

Indonesia Tanah jang Moelia
Tanah Kita jang Kaja
Di Sanalah Akoe Berdiri
Oentoek Slama-lamanja
Indonesia Tanah Poesaka
Poesaka Kita Semoeanja
Marilah Kita Mendo'a
Indonesia Bahagia

Soeboerlah Tanahnja
Soeboerlah Djiwanja
Bangsanja Ra'jatnja Sem'wanja
Sadarlah Hatinja
Sadarlah Boedinja
Oentoek Indonesia Raja

Reff:
Indonesia Tanah Jang Soetji
Tanah Kita Jang Sakti
Di Sanalah Akoe Berdiri
'Njaga Iboe Sedjati
Indonesia Tanah Berseri
Tanah Jang Akoe Sajangi
Marilah Kita Berdjandji
Indonesia Abadi

Slamatlah Ra'jatnja
Slamatlah Poetranja
Poelaoenja, Laoetnja, Sem'wanja
Madjoelah Negrinja
Madjoelah Pandoenja
Oentoek Indonesia Raja


BAB II
Tanah Air
Bangsa barat yang merantau menyebut tanah kelahirannya homeland atau motherland yang kalau diterjemahkan dalam bahasa Indonesia lebih tepat dikatakan bumi pertiwi atau ibu pertiwi. Istilah ini mungkin berasal dari pemu-jaan kepada Dewi Kesuburan yang sifatnya universal. Meskipun nenek moyang bangsa Indonesia juga mengenal pemujaan kepada Dewi Kesuburan, untuk menyebut tanah kelahirannya mungkin lebih tepat dengan istilah tanah air. Istilah ini lebih tepat karena bangsa Indonesia yang berbeda-beda sukubangsa mendiami pulau-pulau yang dikelilingi oleh laut dan selat.
Kepulauan Indonesia mempunyai posisi yang strategis. Tidak saja karena berada di antara dua benua, Asia dan Australia, tetapi juga karena kepulauan ini terletak di antara dua samudra, Pasifik dan Indonesia. Posisi ini membuat Kepulauan Indonesia menjadi tempat persilangan budaya dalam pergaulan antar bangsa di kawasan ini. Bahkan, di jaman purba kawasan ini menjadi daerah perambahan yang menantang manusia untuk menjelajahinya. Ketika permukaan air laut turun, pada jaman es, pulau-pulau di kawasan barat bergabung dengan daratan Asia menjadi Paparan Sunda, sedangkan di kawasan timur Pulau Irian dan Aru bergabung dengan Daratan Australia menjadi Paparan Sahul. Di antara dua daratan luas itu, terdapat Zona Wallacea yang ditempati oleh Pulau Sulawesi dan pulau-pulau kecil lainnya yang kini termasuk wilayah Maluku dan Nusatenggara.
Sepanjang sejarah, Zona Wallacea tidak pernah bergabung dengan Paparan Sunda maupun Paparan Sahul, dan selalu dikelilingi oleh lautan dalam. Karena itu, kawasan ini sering dianggap sebagai “penghalang” persebaran manusia purba. Namun, hasil penelitian arkeologis di Zona Wallacea menunjukkan kawasan ini ternyata telah dihuni oleh manusia purba sejak sekitar 800.000 tahun yang lalu, sebagaimana dibuktikan dengan temuan alat-alat batu purba bersama-sama dengan fosil gajah purba, Stegodon kerdil di Flores. Temuan ini sekaligus memastikan bahwa pada kala itu manusia purba Homo erectus di Indonesia telah mempunyai kemampuan melintasi laut-laut di antara pulau-pulau hingga tiba di Flores. Diduga, Homo erectus telah mampu merakit bambu menjadi perahu sederhana untuk menyeberanginya.
Republik Indonesia merupakan negara kepulauan dengan beragam suku, bahasa, dan budayanya. Secara fisik antar satu budaya dan budaya lain dipisahkan oleh laut. Namun kalau kita melihat dari sisi kemaritiman pemisahan itu tidak pernah ada, karena seluruh perairan yang ada di Nusantara adalah sebagai pemersatu yang mengintegrasikan ribuan pulau yang terpisah-pisah itu. Dalam proses perkembangannya tingkat integrasi dapat berbeda-beda baik secara geografis maupun secara politis, ekonomis, sosial dan kultural.


Lukisan perahu di gua pulau Muna (kiri atas) dan relief kapal Candi Borobudur (kanan).

Di negara yang disebut Indonesia itu berdiam sebuah bangsa besar yang mendiami wilayah dan negara kepulauan, bangsa yang multi kultur dimana ada dua kelompok kehidupan, yaitu kelompok masyarakat yang mendiami wilayah pesisir dan kelompok masyarakat yang mendiami wilayah pedalaman. Kedua kelompok masyarakat ini, sadar atau tidak sadar bahwa mereka hidup dalam sebuah ketergantungan akan laut. Semuanya itu kembali pada konsep hidup dan kesadaran ruang hidup yang berasal dari heterogenitas tadi. Kemudian dalam sejarahnya, ada juga tercatat antagonis hasrat untuk saling mengendalikan dari kedua kelompok besar itu sendiri. Kelompok yang tinggal di darat berusaha untuk mengendalikan pesisir dengan segala upaya untuk mendapatkan hasil dari laut, dan juga sebaliknya.
Laut adalah ajang untuk mencari kehidupan bagi kedua kelompok masya-rakat. Dari laut dapat dieksploitasi sumberdaya biota dan abiota, serta banyak kegiatan kemaritiman yang menjanjikan dan mempesona. Inilah yang mendorong kedua kelompok masyarakat itu menuju laut. Pada mulanya bertujuan mencari hidup dan mempertahankan hidup. Pada akhirnya bertujuan mengembangkan kesejahteraan, atau dengan kata lain membangun kejayaan dan kekayaan dari kegiatan kemaritiman. Fenomena ini pada akhirnya membentuk karakter bangsa pelaut, seperti lahirnya Kadatuan Sriwijaya, Kerajaan Malayu, Kerajaan Majapahit, Kerajaan Makassar.
Laut dapat dikatakan media pemersatu karena melalui laut orang dari berbagai bangsa melakukan interaksi dengan berbagai macam aktivitas. Melalui laut orang dari berbagai bangsa menjalankan aktivitas perekonomian melalui “jasa” pelayaran antar benua atau antar pulau. Sejak awal tarikh masehi, laut Nusantara telah diramaikan oleh kapal-kapal dari berbagai penjuru dunia. Dengan sarana transportasi air itu, komoditi perdagangan dibawa dari satu tempat ke tempat lain untuk diperdagangkan.
“Nenek moyangku orang pelaut. Gemar mengarung luas samudra” Sepenggal lagu anak-anak ini pada tahun 1960-an sering dinyanyikan oleh anak-anak Sekolah Ra’yat. Seiring dengan “ke daratnya” orang, lagu yang mengingatkan kita sebagai bangsa bahari ini mulai jarang dinyanyikan. Artinya orang sudah mulai melupakan akar budayanya. Orang sudah mulai melupakan laut. Hanya orang-orang yang hidup kesehariannya di laut yang tidak lupa laut. Lihatlah betapa banyak korban yang sedang bertamasya di pantai ketika tsunami melanda Aceh hanya karena kurangnya pengetahuan tentang perilaku laut.
Wawasan Nusantara memandang laut sebagai satu keutuhan wilayah, dengan darat udara, dasar laut, dan tanah di bawahnya, serta seluruh kekayaan yang terkandung di dalamnya yang tidak mungkin dipisah-pisahkan. Jadi, ketika orang mulai “menjauhi” laut, maka mulai terpisahlah bangsa ini. Padahal melihat sejayah penyebarannya, mayoritas sukubangsa yang ada di Nusantara ini berasal dari satu induk, yaitu rumpun Austronesia.


BAB III
Kearifan Menjaga Pusaka
Negara Kepulauan yang disebut Indonesia merupakan suatu rahmat Allah dikaruniai tanah yang kaya dan subur. Kaya akan barang tambang di dalam buminya, dan kaya akan hasil hutan dan ladang di muka buminya, serta kaya akan hasil laut di perairannya. Itulah pusaka yang dimiliki bangsa ini. Keadaan ini sudah lama diketahui oleh bangsa-bangsa di dunia. Sejak awal tarikh Masehi banyak para pengembara dan pedagang yang datang ke Nusantara untuk menca-ri barang komoditi yang laku dijual.
Pusaka bangsa Indonesia –termasuk lingkungan hidupnya—sejak awal peradaban manusia yang menghuni Nusantara, sadar atau tidak telah dikelola dengan baik dengan “perangkat” kearifan yang dimiliki oleh anak bangsa ini. Aturan tidak tertulis yang diterjemahkan melalui naluri dan akal dimanfaatkan untuk menjaga kelestarian alam, di samping mereka memanfaatkan alam untuk mencari makan dan bertahan hidup. Saya mengambil contoh kearifan mengelola lingkungan pada masyarakat agraris dan masyarakat nelayan yang kedua kelompok ini “mendominasi” tanah air.

3.1 Masyarakat Agraris
Masalah pengelolaan lingkungan sudah sejak dulu diperhatikan orang. Bagi nenek moyang kita, masalah ini bukan merupaka hal baru. Mereka mempunyai kearifan tersendiri dalam mengelola lingkungan hidupnya. Salah satu teknologi jitu untuk mengelola lingkungan untuk tanaman pangan adalah sitem pertanian sawah dengan irigasi. Nenek moyang bangsa Indonesia sudah tahu bagaimana cara mengelola tanah yang subur, dan juga mengetahui bagai-mana cara yang efektif untuk menjaga tingkat kesuburan sambil mempertahan-kan hasil.

Relief Candi Borobudur yang menggambarkan orang sedang membajak sawah (kiri) dan sekelompok orang sedang memanen padi (kanan).
         
Manusia yang tinggal di daerah yang subur serta dekat dengan air, akan membuat areal persawahan dengan pengairan. Dengan kearifannya mereka menanggapi lingkungan alamnya. Mereka menyadari bahwa air dalam dinamika sawah cukup banyak mengandung zat hara yang sangat berguna bagi kesuburan tanah. Air berfungsi sebagai pupuk alami. Oleh sebab itu areal persawahan di daerah lereng dan kaki gunung api, serta di daerah aluvial dapat bertahan dari dulu sampai sekarang.
Sistem pengairan sawah yang teratur membuktikan adanya tata masyarakat yang teratur pula. Tata masyarakat yang teratur terlihat dengan adanya organisasi pemerintahan pada sebuah desa. Beberapa buah prasasti dari sekitar abad ke-8-9 Masehi menginformasikan adanya pejabat-pejabat desa yang berurusan dengan pengelolaan lingkungan hidup, antara lain hulu air yang tugasnya pengatur pengairan (sawah), tuhalas tugasnya mengawasi hutan, makalangkang tugasnya mengurusi lumbung desa, dan wariga tugasnya menghitung hari baik bulan baik.
Dalam sebuah negara agraris, sawah merupakan harta yang paling berharga dan merupakan sumber penghasilan kerajaan. Karena itu, secara hukum harta tersebut harus dilindungi oleh Undang-undang. Pasal 259 Undang-undang Agama menyebutkan hukuman bagi orang yang membiarkan sawah terbengkalai (lahan tidur), yaitu dituntut untuk membayar makan sebesar hasil padi yang dihasilkan dari tanah yang ditelantarkan. Pada pasal 260 tuntutan hukum bagi yang membakar sawah, yaitu sebesar lima kali lipat hasil padi yang dibakar dan diberikan kepada pemilik sawah ditambah denda uang dua laksa.
Adanya jabatan semacam mantri kehutanan (tuhalas) pada masa lampau, tentu ada hutan serta isinya yang perlu diawasi. Undang-undang Agama pasal 64 menyebutkan ketentuan denda yang harus dibayar oleh orang yang berburu di hutan larangan. Pasal 82 menyebutkan jenis pohon yang tidak boleh ditebang dan sanksi hukum dan denda yang harus dibayar oleh yang menebang. Pasal 92 menyebutkan hukuman mati bagi orang yang menebang pohon di malam hari.
Lain halnya di daerah yang kurang subur tanahnya, daerah erratic rainfall (daerah yang curah hujannya tidak menentu), daerah berbukit, dan hutan. Teknik pertanian yang dikembangkan adalah pola perladangan berpindah dan permanen. Di Timor dikenal dua jenis persiapan lahan yang disebut lere rai dan fila rai. Menghindari resiko menghadapi musim kemarau yang panjang mereka memilih jenis tanaman yang berbeda kebutuhan airnya, dan berbeda panennya. Keadaan tanah maupun topografi menentukan pilihan orang untuk melakukan salah satu dari keduanya.
Lere rai biasanya dilakukan pada daerah yang masih berhutan dengan menebang, menanami lahan, dan berpindah. Sedangkan fila rai yang dikerjakan secara intensif agak permanen dengan cara membakar semak dan menyiapkan lubang untuk tanamannya. Sistem fila rai tidak dapat dilakukan pada tanah yang melereng dan pada jenis tanah yang berpasir namun sangat efektif dalam memulihkan kelembaban tanah pada musim kemarau daripada lere rai. Fila rai memerlukan tenaga kerja banyak.
Kecenderungan yang terlihat bahwa kepadatan penduduk menyebabkan orang mulai membuat teras di lereng pegunungan mengubah sistem lere rai menjadi fila rai. Di sinilah awal mulai rusaknya sistem yang telah dibangun berabad-abad oleh nenek moyang.

3.2 Masyarakat Nelayan
Berada di tepi pantai Laut Flores, masyarakat di Lamalera, Pulau Lembata (dahulu disebut Pulau Lomblen), Provinsi Nusa Tenggara Timur melakukan aktivitas penangkapan ikan paus dengan menggunakan peralatan serba tradisional. Peralatan dimaksud berupa layar, tali (yang dibuat dari benang kapas, daun gebang, dan serat kulit pohon waru), kafe yaitu tempuling atau harpoon, peledang (perahu) dari kayu, sampan, galah tempat menancapkan harpoon untuk menombak, alat untuk menggayung air, gentong air, maupun faye (alat untuk mendayung).
Di tempat itu musim perburuan ikan-ikan besar, seperti ikan paus, pari, dan hiu dari berbagai jenis oleh masyarakat disebut sebagai musim lefa atau yang lebih dikenal dengan nama olanua (mata pencaharian). Proses ritual olanua dimulai sejak 1 Mei hingga 31 Oktober. Dengan masuknya agama Katolik pada tahun 1886 di Lamalera, prosesi ritual tradisi ini mendapat bentuk baru dengan upaya inkulturasi dari Gereja Katolik. Misalnya sebelum musim lefa atau olanua dimaknai dengan upacara misa di pantai, pemberkatan peledang oleh pastor, doa bersama, dan penggunaan air suci untuk kepentingan upacara bersih diri dari salah dan dosa.
Tradisi ini diawali dengan upacara misa dan ceremoti, upacara tradisional dimana seluruh komponen masyarakat Kampung Lamalera duduk bersama di pantai bermusyawarah untuk membicarakan seluruh persoalan kampung, persoalan perburuan dengan berbagai tahapan yang mesti dilaksanakan dalam perburuan itu. Upacara olanua ini menjadi unik dan demikian menarik karena rentetan upacara dan segala macam ritual adat dan agama Katolik. Perjumpaan kedua aspek ini menjadi begitu kental dan akrab dalam seluruh proses kehidupan masyarakat Lamalera.
Malam sebelum keesokan harinya mereka melaut, semua suku yang memiliki perahu berdoa di rumah adat (rumah suku) masing-masing. Mereka berbagi pengalaman dan mendengar petuah dari yang dituakan. Intinya masing-masing individu harus dapat menjaga ketenteraman, menjaga tutur kata, tidak boleh bertengkar dengan sesama, tetangga, dalam rumah tangga suami dan isteri, anak tidak ada perselisihan dan pertengkaran. Melanggar semua hal tersebut berarti kerja keras di laut tak membawa hasil. Masyarakat Lamalera meyakini bahwa hubungan antara yang di darat dan di laut merupakan hubungan sebab akibat. Keduanya saling mendukung dan saling menentukan. Atamole sebagai ahli pembuat peledang di darat memiliki peran sendiri yang berbeda dengan lamafa, juru tikam di laut. Salah, keliru, atau bahkan lalai membagi hasil tangkapan juga akan membawa dampak buruk terhadap proses penangkapan ikan. Karena itu masyarakat Lamalera sangat menjaga hubungan itu jangan sampai ternoda atau tercela.

Pada bulan Mei-Oktober penduduk kampung Lamalera berburu ikan paus dengan peralatan sederhana dan menggunakan perahu. Tidak sembarang ikan paus boleh diburu.




Seluruh hasil tangkapan ikan pertama-tama diperuntukkan bagi para janda, fakir miskin, dan para yatim piatu. Mereka mendapat tempat utama dalam seluruh prosesi perburuan ikan. Dalam setiap nyanyian adat, doa, dan permohonan dari nelayan, kehadiran para janda, fakir miskin, dan para yatim piatu menjadi tujuan utama dari seluruh karya mereka di laut. Dalam tradisi olanua ada aturan dimana masyarakat Lamalera mempunyai komitmen untuk tidak boleh menombak ikan paus atau ikan lain yang sedang bunting. Peran lamafa (juru tikam) dalam memilih objek yang hendak ditombak menjadi sangat penting. Filosofi di balik itu adalah untuk menjaga kelestariannya supaya ikan-ikan tersebut tidak punah.

Masyarakat Lamalera meyakini bahwa dengan menangkap ikan paus, pari, dan berbagai jenis ikan besar lainnya dapat menghidupi seluruh masyarakat Lamalera, bahkan tradisi barter merupakan prinsip yang dianut oleh masyarakat Lamalera dan Pulau Lembata pada umumnya. Dalam keseharian ikan ditukar dengan jagung, padi, singkong, buah-buahan, dan berbagai komoditas pertanian lainnya. Diketahui bahwa dengan hasil hasil itu masyarakat Lamalera dapat menyekolahkan anak-anak mereka hingga perguruan tinggi.
Perlahan tapi pasti, Lamalera dengan keunikan tradisi perburuan ikan dan peralatan serba tradisional mengalami perubahan paradigma. Sebagaimana desa-desa tradisional di daerah lain, derasnya arus modernisasi dan teknologi tak terbendung memasuki seluruh ruang kehidupan. Tradisi dan prosesi perburuan unik itu perlahan terkikis habis. Seluruh aspek sosial, budaya, dan ekonomi yang sangat kental dengan kearifan lokal pun nyaris tak kuat bertahan. Tradisi ini mungkin hanya akan menjadi episode akhir dari sebuah perjalanan kisah hidup perburuan ikan dengan peralatan tradisional – sejak zaman prasejarah - yang hanya dimiliki negeri ini. Harmoni kehidupan yang lahir dan tumbuh dari prosesi panjang perburuan yang kaya akan nilai-nilai adat istiadat warisan leluhur, nilai-nilai keagamaan, dan hubungan sosial, hampir dapat dipastikan tidak akan kuat menghadapi terpaan gelombang modernisasi teknologi.

Perkampungan Suku Bajau yang dibangun di atas perairan dangkal di Provinsi Riau Kepulauan (kiri), dan anak-anak sukubangsa Sekak yang seumur hidupnya sampai dewasa di perahu (kanan).

Ini jelas sebuah tantangan serius bagi pelestarian warisan tersebut. Suatu saat warisan itu harus diberdayakan dalam kemasan sebuah pesona pariwisata yang pada gilirannya diharapkan akan mendatangkan berbagai keuntungan. Tugas pemerintah dan masyarakat juga tidak mudah. Harus ada kerjasama untuk tidak lalai memperhatikan aspek dan keunggulan tradisi ini sebagai sumber yang diharapkan memberikan pemasukan bagi semua.
Di belahan timur Nusantara kita telah mengenal orang dari Pulau Lamalera yang dengan gagah berani berburu paus. Di kawasan barat Nusantara dikenal Suku Laut. Tidak ada satupun sukubangsa yang berkebudayaan lebih maritim daripada sukubangsa Orang Laut. Sukubangsa ini mendiami daerah-daerah muara sungai dan hutan bakau di pantai timur Pulau Sumatra, Kepulauan Riau-Lingga, dan pantai barat Semenanjung Tanah Melayu sampai ke Muangthai selatan. Mereka hidup di rumah-rumah di atas perahu menjadikan mereka ‘orang laut’ dalam arti yang sesungguhnya. Sebuah berita Tionghoa yang berasal dari tahun 1225 menguraikan tentang rakyat di kerajaan SwarnnabhÅ«mi. Disebutkan bahwa rakyat tinggal di sekitar kota atau di atas rakit yang beratap rumbia. Mereka itu tangkas dalam peperangan baik di darat maupun di laut. Dalam peperangan dengan negara lain, mereka berkumpul. Berapa pun keperlu-annya, dipenuhi. Mereka sendiri yang memilih panglima dan pemimpinnya. Semua pengeluaran untuk persenjataan dan perbekalan ditanggung oleh mereka masing-masing. Dalam menghadapi lawan dengan resiko mati terbunuh, di antara bangsa-bangsa lain sukar dicari tandingannya. Mungkinkah Orang Laut yang mendiami Sumatra bagian timur itu keturunan dari mereka itu ?
Bangsa Indonesia pada hakekatnya adalah bangsa bahari di mana seharusnya kita memandang laut sebagai pemersatu nusantara. Kelompok yang hidup di daerah pesisir dan di daerah pegunungan (pedalaman) satu sama lain saling membutuhkan seperti kata pepatah “garam di laut asam di darat, bertemu di belanga jua”. Nenek moyang kita telah mengajari bagaimana cara “mengelola pusaka” dengan kearifan yang dimiliki. Juga sukubangsa-sukubangsa yang hidup di Nusantara telah mengajari kita bagaimana mereka mencari makan dari warisan pusaka nenek moyangnya sambil melestarikan.


BAB IV
Deklarasi Juanda.
“Pandanglah laut sebagai pemersatu Nusantara”. Itulah kalimat indah yang patut kita renungkan dan implementasikan untuk bangsa bahari yang besar ini demi Indonesia Raya. Limapuluh tahun yang lalu, ketika kemerdekaan bangsa ini masih “usia remaja”, para founding father sudah memikirkan “bentuk fisik” negara yang terdiri dari pulau dan laut.
Pada awal kemerdekaannya, pengaturan batas-batas teritorial Republik Indonesia masih mengacu pada Territiarle Zee en Maritime Kringen-Ordonantie 1939 (TZMKO 1939) dimana pada Pasal 1, ayat 1 menetapkan bahwa batas-batas laut teritorial selebar 3 mil dari pantai. Pasal ini tidak sesuai untuk sebuah negara kepulauan, karena dalam sebuah negara kepulauan semua pulau serta laut yang terletak di antaranya harus dianggap sebagai suatu kesatuan yang bulat.
Untuk mewujudkan cita-cita tersebut, pada tanggal 13 Desember 1957 pemerintah Republik Indonesia yang pada waktu itu berada di bawah Kabinet Djuanda, mengeluarkan suatu pernyataan ketentuan mengenai wilayah perairan Indonesia. Pernyataan tersebut dikenal dengan nama Deklarasi Djuanda 1957. Dalam pernyataan itu terkandung suatu konsepsi nusantara menimbulkan konsekuensi bagi pemerintah dan bangsa Indonesia untuk memperjuangkan dan mempertahankan hingga mendapat pengakuan internasional.
Deklarasi Djuanda 1957 kemudian dikemukakan pada Konferensi Hukum Laut I tahun 1958 di Jenewa, Swiss. Perjuangan untuk menuju pengakuan internasional masih panjang. Dengan diprakarsai Perserikatan Bangsa-bangsa, pada tahun 1982 ditandatangani Hukum Laut Internasional oleh 119 negara perserta. Konvensi ini disebut United Nation Convention on Law of the Sea (Unclos 1982) yang mewadahi dan mengatur Negara Kepulauan (Archipelagic States). Konvensi ini berlaku efektif tanggal 16 November 1994 ketika lebih dari 60 negara meratifikasi. Indonesia meratifikasi Unclos 1982 melalui UU No. 17  tahun 1985 tentang Pengesahan United Nations Convention on the Law of the Sea (Konvensi Perserikatan Bangsa-bangsa tentang Hukum Laut).
Limapuluh tahun sudah Indonesia mendeklarasikan diri sebagai Negara Kepulauan dan duapuluh lima tahun sudah Indonesia “dilindungi” secara hukum oleh dunia internasional (Unclos 1982) sebagai Archipelagic State. Namun dalam kurun waktu tersebut kita telah kehilangan Pulau Sipadan, Ligitan, dan Timor Timur, serta Pulau Ambalat yang masih disengketakan dengan Malaysia. Masih 12 pulau lagi di “tepi” Indonesia yang masih disengketakan dengan negara tetangga, yaitu Pulau Bondo, Pulau Sekatung, Pulau Nipa, Pulau Berhala, Pulau Marore, Pulau Miangas, Pulau Marampit, Pulau Batek, Pulau Dana, Pulau Fani, dan Pulau Bras.
Perjuangan Perdana Menteri Ir. H. Djuanda ini dilanjutkan oleh Menteri Luar Negeri Prof. Dr. Mochtar Kusumaatmadja yang mampu mengartikulasikan konsepsi Wawasan Nusantara sebagai prinsip-prinsip dasar yang dapat mempersatukan Negara Republik Indonesia. Indonesia memperjuangkan konsesi Wawasan Nusantara sebagai argumen untuk mempersatukan pulau-pulau yang tersebar dari Bondo (Sabang) di ujung barat sampai Merauke di ujung timur; dari Miangas di ujung utara sampai Rote di ujung selatan.
Ada ketentuan internasional yang menyatakan bahwa batas laut wilayah suatu negara adalah 12 mil dari pantai sebuah pulau. Untuk sebuah negara kepulauan, berarti laut yang berada di antara pulau-pulau adalah laut bebas atau laut internasional. Dengan ketentuan itu, antara Sumatra, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Irian dan pulau-pulau lainnya terpisah oleh laut bebas yang dapat dilalui seenaknya oleh kapal-kapal asing.



 Dengan lahirnya konsepsi Negara Kepulauan kelemahan tersebut dapat diatasi. Semua laut dalam (laut di antara pulau di Nusantara) yang dengan ketentuan 12 mil merupakan laut bebas, tidak lagi menjadi laut internasional tetapi sebagai laut pedalaman yang termasuk sebagai kawasan laut teritorial dari suatu negara kepulauan. Wawasan Nusantara mencakup perwujudan Nusantara sebagai suatu kesatuan politik, satu kesatuan ekonomi, satu kesatuan budaya dan satu kesatuan pertahanan dan keamanan.
Konsep Wawasan Nusantara yang telah membuat bangsa ini dipandang dunia internasional kini sudah agak memudar. Indonesia Raya kerayaannya mulai berkurang dengan lepasnya Pulau Sipadan, Pulau Ligitan dan Timor Timur. Kita tidak bisa tunjuk hidung mengenai siapa yang bertanggungjawab atas berkurangnya kerayaan Indonesia, apakah “pandoenja” atau “ra’jatnja”. Jelas ini semua adalah tanggungjawab kita dalam 'Njaga Iboe Sedjati.


BAB V
Penutup
Pesan-pesan yang tersirat dan tertulis dalam Lagu Kebangsaan Indonesia Raya kini sudah mulai dilupakan oleh banyak orang. Mungkin masih lebih baik kalau anak bangsa ini dapat ingat bait-bait yang terkandung dalam lagu kebangsaan itu, meski kurang menjiwai apalagi mengimplementasikan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Beberapa hal yang dapat saya simpulkan dalam makalah sederhana ini adalah sebagai berikut:
• Kata “tanah air” mengandung makna bahwa penghuni Negara Kepulauan yang bernama Republik Indonesia adalah bangsa bahari. Sebagai bangsa bahari kita harus memandang laut sebagai pemersatu nusantara, bukan sebagai pemisah.
• Indonesia adalah tanah pusaka yang kaya. Nenek moyang bangsa bahari ini telah mewariskan pusaka yang dulu dapat dikelola baik dengan kearifan yang mereka miliki. Kearifan yang dimiliki nenek moyang bangsa ini masih tersisa pada sukubangsa-sukubangsa di Nusantara. Ironisnya pada anak bangsa yang sudah berpendidikan di kota-kota besar, kearifan dalam menyikapi dan menjaga pusaka sudah mulai berkurang bahkan nyaris hilang.
• Sebagai Negara Kepulauan memandang laut sebagai pemersatu Nusantara, kekuatan di laut bangsa ini sangat kurang. Kita melihat kurangnya kekuatan laut kita, dan kita lihat kurangnya sarana transportasi laut kita. Transportasi laut sangat minim. Padahal dengan sarana tersebut dapat mempererat tali silaturrahmi antar sukubangsa yang mendiami pulau-pulau di Nusantara.

Ikan kerapu bukan pari,
Elok nian dipandang mata.
Bangsa Indonesia bangsa bahari,
Kekuatan laut tumpuan kita
PERAN PELAKU EKONOMI DALAM SISTEM EKONOMI PANCASILA

PERAN PELAKU EKONOMI DALAM SISTEM EKONOMI PANCASILA

BAB I
PENDAHULUAN
Saya mengucapkan terimakasih atas undangan untuk berbicara dalam Rapat Kerja
Nasional Pancasila 21 BP7 Pusat dengan tema: “Pembudayaan Pancasila sebagai Ideologi
Terbuka dalam Era Globalisasi”. Dalam rapat kerja ini saya diminta untuk berbicara mengenai pengembangan jatidiri pelaku ekonomi dan konsumen Indonesia. Topik yang diberikan kepada saya telah merangsang saya untuk melakukan kontemplasi mengenai berbagai aspek dalam arah pembangunan nasional kita, terutama dengan makin kencangnya arus yang membawa biduk negara kita ke samudera besar yang kita sebut sebagai era global. Saya mengubah judulnya untuk memberi keleluasaan kepada saya untuk membahas tema itu secara lebih konseptual.
Dari judul-judul itu saja, kita bisa menangkap bahwa ada “concern” atau kegalauan
dalam diri para penyelenggara pertemuan ini, mengenai bagaimana kita mempertahankan nilai-nilai yang mendasar bagi bangsa kita, dalam era keterbukaan dan “keduniaan”, agar tidak meluntur. Bagaimana kita mempertahankan nilai-nilai dasar kita, yang menjadi sumber jatidiri kita, jelas merupakan tantangan yang tidak kecil.
Tampaknya, dari judul yang diberikan kepada saya, saya diminta untuk menyumbangkan
pikiran mengenai aspek ekonomi dari persoalan yang sedang kita hadapi itu.
Secara singkat saya ingin mengantarkannya dengan membahas sedikit mengenai
fenomena globalisasi itu sendiri.

BAB II
Globalisasi Sebagai Proses Peleburan Nilai
Dari sudut pandang ekonomi, pengertian paling mendasar dari proses globalisasi adalah
perluasan dan pendalaman integrasi pasar barang, jasa dan keuangan antar negara di dunia. Dalam sepuluh tahun terakhir, proses globalisasi dan integrasi itu telah mengalami percepatan karena dorongan universal untuk liberalisasi dan terobosan teknologi informasi, transportasi serta komunikasi yang menyebabkan akselerasi produksi dan distribusi secara internasional.
Kemajuan teknologi yang menyebabkan penurunan biaya transportasi dan komunikasi
telah mengurangi jarak antar negara karena penurunan biaya transaksi barang-barang, jasa, dan informasi. Kegiatan produksi dapat dilakukan dimanapun, dengan bahan mentah atau setengah jadi serta komponen dari mana pun dan untuk dipasarkan di mana pun juga. Pada dasarnya yang terjadi adalah peningkatan spesialisasi atau pembagian kerja proses produksi antar negara berdasarkan keunggulan komparatifnya. Dengan peningkatan spesialisasi tersebut, secara teoritis semua bangsa akan diuntungkan karena ketersediaan barang dan jasa makin meningkat dengan harga yang lebih terjangkau. Peningkatan produksi berarti juga peningkatan lapangan kerja, dan berarti juga peningkatan kesejahteraan.
Namun, proses globalisasi tidak hanya berdampak positif, tetapi juga dapat berdampak
merugikan. Salah satu contohnya adalah gejolak moneter yang melanda negara kita dan beberapa negara tetangga yang telah melemahkan perekonomian kita dan negara-negara di kawasan ini. Ada juga kekhawatiran bahwa globalisasi dapat memperlebar perasaan kesenjangan karena makin tajamnya perbedaan dalam laju kecepatan kemajuan antara lapisan masyarakat yang kuat dan yang lemah.
Globalisasi tidak hanya berkenaan dengan mekanisme hubungan ekonomi antar bangsa,
tetapi secara lebih mendasar merupakan proses universalisasi nilai-nilai. Gagasan-gagasan
bergerak bebas. Kita harus siap menerima kenyataan bahwa banyak hal yang telah menjadi
keyakinan selama ini akan dipertanyakan dan diuji keabsahannya atau relevansinya. Kita harus sudah memperhitungkan bahwa sistem kenegaraan dan pandangan-pandangan yang melandasinya akan terus menerus diuji dan ditantang. Karena itu, dalam proses globalisasi kita tidak boleh hilang kemudi, betapa pun kuat arus yang membawanya. Kemudi ini adalah nilai yang dikandung pada waktu bangsa ini memproklamasikan kemerdekaannya. Dengan demikian jatidiri bangsa akan terpelihara, bahkan diperkaya dengan berbagai gagasan baru tersebut. Sebaliknya, jika kita hilang kemudi, maka kita akan terhanyut oleh perubahan-perubahan itu sehingga arah perjalanan bangsa menjadi tidak menentu.

BAB III
Sistem Ekonomi Pancasila
Dalam konsep kita pembangunan nasional adalah pengamalan Pancasila. Pembangunan
ekonomi kita pun harus berlandaskan Pancasila, sebagai dasar, tujuan dan pedoman dalam
penyelenggaraannya. Dengan dasar pemikiran tersebut, maka sistem ekonomi yang ingin kita bangun adalah sistem ekonomi Pancasila.
Saya mengetahui bahwa banyak pakar telah mencoba merumuskan apa yang dimaksud
dengan Ekonomi Pancasila. Tampaknya selama ini belum tercapai konsensus ke arah satu
pengertian. Bahkan banyak yang mencoba menghindari menggunakan istilah itu. Saya bisa
memahami kalau selama ini ada kekhawatiran dalam merumuskan Ekonomi Pancasila, oleh
karena memang kondisi ekonomi kita pada waktu yang lalu masih begitu tertinggalnya, sehingga berbicara mengenai idealisme yang demikian akan dirasakan bertentangan dengan kenyataan dalam kehidupan yang sesungguhnya.
Namun, dewasa ini saya berpendapat bahwa sudah saatnya kita menentukan sikap dan
membulatkan niat untuk membangun ekonomi menuju arah sesuai cita-cita para pendiri Republik ini.
Pembangunan selama ini telah memberikan hasil yang cukup nyata dalam meningkatkan
kesejahteraan dan kemampuan ekonomi nasional, sehingga memberikan modal dan kesempatan kepada kita untuk memikirkan lebih jauh idealisme pembangunan dan menjabarkannya dalam konsep-konsep yang operasional, yang secara bertahap membawa kita ke tujuan itu.
Jelas tidak akan mudah bagi kita untuk mengembangkan konsep ini, karena sebagai
konsep ekonomi dan konsep pembangunan harus memenuhi berbagai syarat, di samping
idealisme atau pandangan-pandangan yang normatif, harus juga memenuhi kaidah-kaidah ilmiah, sehingga ada asas-asas objektif dan rasional yang dapat dikembangkan. Namun, kita juga tidak berhenti mengupayakannya semata-mata karena belum ada atau belum banyak literatur yang secara mendalam mengkaji konsep ini. Justru kita harus memulainya dan mengembangkan konsensus ke arah itu.
Sebelum melanjutkan, kiranya saya perlu mendudukkan dulu apa yang dimaksud dengan
sistem ekonomi.
Sistem ekonomi dimengerti sebagai kumpulan dari institusi yang terintegrasi dan
berfungsi serta beroperasi sebagai suatu kesatuan untuk mencapai suatu tujuan (ekonomi) tertentu. Institusi di sini diartikan secara luas sebagai kumpulan dari norma-norma, peraturan atau cara berfikir. Adanya berbagai institusi tersebut dapat mengurangi ketidakpastian dengan memberikan bentuk atau struktur dasar sebagai pedoman dalam kehidupan sehari-hari. Dalam pengertian institusi ini juga termasuk institusi ekonomi seperti rumah tangga, pemerintah, kekayaan, uang, serikat pekerja, dan lain-lain.
Dalam suatu perekonomian, setidaknya terdapat 4 (empat) jenis keputusan yang harus
diambil setiap waktu. Keputusan-keputusan tersebut adalah yang berkaitan dengan apa yang akan diproduksi, berapa banyak produksi, bagaimana cara memproduksinya, dan bagaimana alokasi produk tersebut. Bagaimana keputusan tersebut diambil tergantung kepada sistem ekonomi yang dianut oleh masyarakat atau negara tersebut.
Berdasarkan mekanisme koordinasi pengambilan keputusan, kita mengenal dua sistem
ekonomi, yaitu ekonomi pasar dan ekonomi komando. Dalam sistem ekonomi pasar, keputusankeputusan seperti tersebut di atas diambil oleh pelaku ekonomi melalui mekanisme pasar yang juga disebut mekanisme harga. Dengan kata lain, pengambilan keputusan sangat terdesentralisasi. Pada sistem ekonomi komando, keputusan diambil berdasarkan suatu komando atau rencana yang terperinci mengenai apa yang harus diproduksi, berapa banyak, bagaimana memproduksinya, dan
lain-lain.
Di samping pengambilan keputusan seperti tersebut di atas, ciri lain dari suatu
perekonomian adalah pemilikan aset produktif. Dalam sistem ekonomi kapitalis, aset-aset produktif dimiliki oleh individu atau swasta, sedangkan dalam sistem ekonomi sosialis, aset produktif dikuasai oleh masyarakat yang diwakili oleh pemerintah.
Masing-masing sistem tersebut mempunyak kekuatan dan kelemahannya. Oleh
karenanya, dalam dunia nyata yang kita kenal adalah sistem ekonomi campuran.
Sistem ekonomi kita, menganut paham ekonomi pasar, atau menurut istilah yang
digunakan oleh Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI) ekonomi pasar terkendali (tahun 1990) atau ekonomi pasar terkelola (tahun 1996).
Apabila pengertian itu yang akan kita anut, karena datang dari pakar-pakarnya, maka kata
kuncinya adalah terkelola. Menurut hemat saya yang dimaksud dengan sistem ekonomi Pancasila adalah sistem ekonomi pasar yang terkelola dan kendali pengelolaannya adalah nilai-nilai Pancasila.
Dengan perkataan lain ekonomi Pancasila tentulah harus dijiwai oleh nilai-nilai Pancasila.
Atas dasar itu maka Ekonomi Pancasila tidak semata-mata bersifat materialistis, karena
berlandaskan pada keimanan dan ketakwaan yang timbul dari pengakuan kita pada Ketuhanan Yang Maha Esa. Keimanan dan ketakwaan menjadi landasan spiritual, moral dan etik bagi penyelenggaraan ekonomi dan pembangunan. Dengan demikian sistem ekonomi Pancasila dikendalikan oleh kaidah-kaidah moral dan etika, sehingga pembangunan nasional kita adalah pembangunan yang berakhlak.
Ekonomi Pancasila, dengan nilai kemanusiaan yang adil dan beradab, menghormati
martabat kemanusiaan serta hak dan kewajiban asasi manusia dalam kehidupan ekonomi. Dengan dasar-dasar moral dan kemanusiaan seperti di atas Ekonomi Pancasila meskipun tidak menghalangi motivasi ekonomi untuk memperoleh keuntungan, namun tidak mengenal predator-predator ekonomi, yang satu memangsa yang lain.
Ekonomi Pancasila berakar di bumi Indonesia. Meskipun ekonomi dunia sudah menyatu,
pasar sudah menjadi global, namun ekonomi Indonesia tetap diabdikan bagi kesejahteraan dan kemajuan bangsa Indonesia. Sila Persatuan Indonesia mengamanatkan kesatuan ekonomi sebagai penjabaran wawasan nusantara di bidang ekonomi. Globalisasi kegiatan ekonomi tidak menyebabkan internasionalisasi kepentingan ekonomi. Kepentingan ekonomi kita tetap diabdikan untuk kepentingan bangsa Indonesia. Ekonomi Pancasila dengan demikian berwawasan kebangsaan dan tetap membutuhkan sikap patriotik meskipun kegiatannya sudah mengglobal.
Sila keempat dalam Pancasila menunjukkan pandangan bangsa Indonesia mengenai
kedaulatan rakyat dan bagaimana demokrasi dijalankan di Indonesia. Di bidang ekonomi,
Ekonomi Pancasila dikelola dalam sebuah sistem demokratis yang dalam Undang-undang Dasar secara eksplisit disebut demokrasi ekonomi.
Nilai-nilai dasar sila kelima, keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, menunjukkan
betapa seluruh upaya pembangunan kita, untuk mengembangkan pertumbuhan ekonomi dikaitkan dengan pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya menuju kepada terciptanya kemakmuran yang berkeadilan bagi seluruh rakyat Indonesia dalam sistem ekonomi yang disusun sebagai usaha bersama berdasarkan atas asas kekeluargaan.

BAB IV
Peran Pelaku Ekonomi
Setelah mencoba mengupayakan pengertian-pengertian sistem ekonomi yang bagaimana
yang ingin kita bangun pada tataran filosofis, tantangan berikutnya adalah bagaimana
mengoperasionalkannya.
Sesungguhnya dalam Undang-undang Dasar beberapa petunjuk ke arah itu telah ada
dalam berbagai pasalnya. Pasal 23, 27 ayat (1), pasal 33 dan juga pasal 34 memberikan kepada kita petunjuk-petunjuk mengenai bagaimana konsep ekonomi harus dikembangkan berdasarkan Undang-undang Dasar.
Bahkan dalam pasal 33 ada penjelasan yang cukup rinci mengenai apa yang dikehendaki
oleh Undang-undang Dasar, mengenai bagaimana ekonomi kita harus dikelola dan dikembangkan.
Tantangan bagi kita sekarang adalah bagaimana secara tepat kita menjabarkannya dalam
konsep-konsep pembangunan.
Dalam upaya itu jelas tidak ada jalan yang lurus dan mulus. Kadang-kadang kita harus
berbelok ke kiri, berbelok ke kanan, bahkan kadang-kadang harus mundur dulu sedikit kemudian maju lagi. Yang penting kita harus menjaga bahwa arahnya tetap konsisten, betapa pun dari saat ke saat kebijaksanaan-kebijaksanaan pembangunan harus disesuaikan dengan situasi. Betapa pun juga kita telah menyatakan bahwa Pancasila adalah ideologi terbuka, yang terus berkembang mengikuti dinamik masyarakat. Namun, nilai-nilai dasarnya tidak pernah berubah. Oleh karena itu, UUD 1945 mengamanatkan bahwa dengan mengingat dinamik masyarakat, sekali dalam 5 tahun MPR memperhatikan segala yang terjadi dan segala aliran-aliran pada waktu itu serta menentukan haluan-haluan apa yang hendaknya dipakai untuk di kemudian hari. Petunjuk-petunjuk itu dituangkan dalam GBHN.
Upaya untuk menjabarkan amanat konstitusi sesuai dengan perkembangan situasi telah
dilakukan sejak PJP I, GBHN demi GBHN, sampai GBHN 1993. Sekarang kita sedang dalam persiapan menyusun bahan-bahan untuk GBHN 1998.
Dalam tataran operasional, yang sangat diperlukan adalah konsep mengenai bagaimana
peran para pelaku ekonomi dalam sistem ekonomi Pancasila, dalam menghadapi tantangan-tantangan besar di masa depan. Dua di antaranya sangat menonjol, yaitu (1) menghadapi ekonomi global dengan meningkatkan daya saing, dan (2) membangun semua potensi ekonomi di dalam negeri agar tumbuh kuat dan dapat turut menyumbang kepada kekuatan ekonomi nasional.
Pelaku ekonomi dimaksudkan terdiri dari masyarakat sebagai produsen barang dan jasa
atau disebut juga sebagai dunia usaha, masyarakat sebagai konsumen dan pemerintah yang
mengatur bekerjanya berbagai institusi ekonomi.
Dalam sistem ekonomi kita dikenal adanya 3 bentuk usaha atau bangun usaha, yaitu
usaha negara, koperasi, dan usaha swasta. Bagaimana masing-masing berperan, memang
merupakan topik pembahasan dan perdebatan yang telah banyak dilakukan sejak kita kembali ke Undang-undang Dasar (UUD) 1945 di tahun 1959. Berbagai usaha telah dilakukan untuk menafsirkan amanat UUD 1945 dalam pasal 33. Bahkan ada di antaranya yang kemudian kita anggap tidak sejalan dengan jiwa dan semangat UUD 1945 itu, seperti sistem ekonomi terpimpin.
Dalam masa Orde Baru hingga sekarang usaha untuk mewujudkan amanat UUD itu terus
berlanjut.
Saya bisa mengambil sebuah contoh. Pada tahun 1990, ISEI dalam kongres ke XI telah
mengupayakan untuk menjabarkan bagaimana peran para pelaku ekonomi dalam sistem ekonomi yang ingin kita tegakkan.
Menurut ISEI, di dalam sistem ekonomi yang berlandaskan Demokrasi Ekonomi, usaha
negara, koperasi, dan usaha swasta dapat bergerak di dalam semua bidang usaha sesuai dengan peranan dan hakikatnya masing-masing. Dalam konsep itu, usaha negara berperan sebagai: (a) perintis di dalam penyediaan barang dan jasa di bidang-bidang produksi yang belum cukup atau kurang merangsang prakarsa dan minat pengusaha swasta; (b) pengelola dan pengusaha di bidang-bidang produksi yang penting bagi negara; (c) pengelola dan pengusaha di bidang-bidang produksi yang menguasai hajat hidup orang banyak; (d) imbangan bagi kekuatan pasar pengusaha swasta; (e) pelengkap penyediaan barang dan jasa yang belum cukup disediakan oleh swasta dan koperasi, dan (f) penunjang pelaksanaan kebijaksanaan negara.
Selanjutnya koperasi sebagai salah satu bentuk badan usaha yang sesuai dengan ketentuan
Undang-undang Dasar 1945, diberi kesempatan seluas-luasnya untuk berperan sesuai dengan hakikatnya sebagai kesatuan ekonomi yang berwatak sosial. Sedangkan usaha swasta diberi peranan yang sebesar-besarnya di dalam bidang-bidang di mana persaingan dan kerja sama berdasarkan motivasi memperoleh laba memberikan hasil terbaik bagi masyarakat diukur dengan jenis, jumlah, mutu dan harga barang dan jasa yang dapat disediakan.
Dengan mengambil pandangan-pandangan ISEI itu, saya ingin menunjukkan betapa para
pakar kita telah berupaya untuk menjabarkan lebih lanjut pemikiran-pemikiran dasar kita itu. Berbagai usaha tersebut harus kita lanjutkan. Kita perlu lebih memperdalam lagi rumusan tentang peran negara, koperasi dan usaha swasta dalam sistem ekonomi Pancasila tersebut.
Mengingat masyarakat kita terus berkembang dan kita hidup sebagai bagian dari
masyarakat dunia yang terus berkembang pula, konsep-konsep itu haruslah tidak kaku dan statis, tetapi luwes dan lentur, serta memungkinkan berkembang sesuai dengan dinamika perubahan yang terus menerus terjadi. Namun, hal-hal yang mendasar seperti nilai-nilai utama yang tadi telah saya kemukakan tidak perlu bahkan tidak seyogyanya berubah.
Salah satu tantangan kita sekarang adalah bagaimana membangun usaha swasta agar
dapat memotori mesin ekonomi kita dalam memasuki era perdagangan bebas. Bagaimana kita
membantu usaha swasta kita untuk terus menerus meningkatkan dan memelihara daya saing.
Daya saing swasta kita merupakan komponen penting dalam daya saing nasional.
Untuk meningkatkan daya saing perlu ditingkatkan efisiensi dan produktivitas sumber
daya yang kita miliki. Ini harus menjadi agenda nasional bangsa kita.
Selanjutnya, perlu pula dipikirkan bagaimana kita memperbaiki struktur dunia usaha kita
yang masih timpang, agar lebih kukuh dan seimbang; yakni struktur dunia usaha di mana usaha besar, menengah dan kecil saling bersinergi dan saling memperkuat dengan lapisan usaha menengah sebagai tulang punggungnya. Persoalan kita bukan ukurannya besar atau kecil, tetapi daya tahan dan daya saingnya. Yang besar tetapi lemah tidak ada manfaatnya, yang kecil tetapi kuat justru merupakan unsur yang penting terhadap keseluruhan sistem ekonomi kita. Oleh karena itu, agenda pembangunan kita bukan mempertentangkan yang besar dengan yang kecil, tetapi membangun semua potensi yang kita miliki.
Dalam proses itu yang besar dan kecil harus bekerja sama, bermitra, untuk bersama-sama
saling dukung dan saling memperkuat. Kita harus ingat pesan Undang-undang Dasar mengenai asas kekeluargaan dalam menyelenggarakan ekonomi.
Konsumen adalah juga pelaku ekonomi. Kita menghendaki agar perilaku konsumen
Indonesia memperkuat upaya kita untuk membangun wujud masyarakat yang kita harapkan, yaitu yang maju, mandiri, sejahtera, dan berkeadilan.
Pertama, konsumen diharapkan memberi penghargaan dan mengutamakan penggunaan produk hasil bangsanya sendiri. Hal ini sering dikatakan sebagai cermin nasionalisme baru.
Sikap mendahulukan penggunaan produksi dalam negeri, tidak bertentangan dengan perjanjian-perjanjian perdagangan internasional, karena bersangkutan dengan pilihan yang bebas dan bukan karena paksaan atau dibatasinya pilihan atau hak untuk memilih. Sikap serupa itu justru akan menjamin pertumbuhan kemampuan produksi nasional secara berkesinambungan. Pada gilirannya akan mendorong proses kemandirian bangsa.
Kedua, konsumen Indonesia harus memperhatikan nilai-nilai kepatutan menurut agama
dan budaya masyarakat.
Pola konsumsi yang bertentangan dengan nilai-nilai agama dan budaya masyarakat, jelas
tidak sesuai dengan semangat tenggang rasa dan saling menghormati keyakinan, dan dapat
menimbulkan suasana permusuhan dan pertentangan, sehingga melemahkan keutuhan bangsa.
Ketiga, konsumen Indonesia harus memperhatikan pula taraf hidup masyarakat di
sekitarnya. Pola konsumsi yang berlebihan, yang mewah di atas kewajaran, apalagi di tengah masyarakat yang miskin, akan menyebabkan kecemburuan sosial dan mempertajam kesenjangan. Akibatnya mudah sekali terjadi konflik-konflik sosial. Konflik-konflik sosial lebih mudah muncul ke permukaan oleh karena tidak adanya rasa solidaritas, sebagai akibat menyoloknya perbedaan gaya hidup.
Oleh karena itu, pada waktu kita berbicara mengenai pengembangan jatidiri para pelaku
ekonomi, kita tidak hanya berbicara mengenai masyarakat sebagai pelaku ekonomi produsen tetapi juga sebagai pelaku ekonomi konsumen.
Peran pemerintah jelaslah tidak kecil. Saya berpendapat bahwa pemerintah harus
mengemban tiga peran sekaligus.
Pertama, dalam upaya pemerataan dan membangun keadilan pemerintah harus berada di
depan, Ing Ngarso Sung tulodo. Upaya mengentaskan penduduk dari kemiskinan, memeratakan pembangunan antardaerah, menghilangkan kesenjangan, haruslah menjadi tanggung jawab pemerintah dan pemerintah harus memeloporinya. Dalam upaya membangun rasa adil dan menciptakan rasa aman dan rasa tenteram dalam masyarakat, pemerintah harus berada di depan, menunjukkan jalan dan memberi keteladanan. Pemerintah harus memelopori terbentuknya institusi sosial dan ekonomi yang mendorong berkembangnya potensi ekonomi dan berperannya secara optimal pelaku-pelaku ekonomi masyarakat.
Kedua, dalam berbagai upaya pembangunan pemerintah harus bekerja bersama
masyarakat dan menggerakkan kegiatan pembangunan oleh masyarakat.
Pemerintah harus Ing Madyo Mangun Karso. Dalam berbagai usaha produksi di mana
masyarakat belum sepenuhnya mampu tanpa ditopang oleh pemerintah, pemerintah harus
mendukungnya. Misalnya, membangun prasarana untuk mendorong kegiatan investasi
masyarakat. Pemerintah membangun jalan, tenaga listrik, irigasi, untuk mendorong kegiatan
ekonomi masyarakat. Bahkan mungkin masih harus mengelola prasarana tersebut agar dapat
terus berfungsi untuk mendukung kegiatan ekonomi masyarakat.
Ketiga, dalam hal masyarakat sendiri sudah sepenuhnya dapat berperan, maka peran
pemerintah adalah Tut Wuri Handayani. Itulah yang dimaksudkan pada waktu kita mengatakan bahwa dalam konsep pembangunan kita masyarakat adalah pelaku utama pembangunan dan pemerintah berkewajiban untuk mengarahkan, membimbing serta menciptakan suasana yang menunjang. Misalnya, dalam kegiatan mendorong ekspor, yang dilakukan oleh dunia usaha kita, atau mendorong pariwisata. Apabila hambatan-hambatan yang disebabkan baik oleh peraturan dari pemerintah sendiri ataupun hambatan lainnya dapat ditiadakan, sudah akan sangat menolong. Apalagi kalau ditopang oleh peraturan-peraturan dan kebijaksanaan-kebijaksanaan yang menunjang.

BAB V
Penutup
Demikianlah, pikiran-pikiran awal mengenai peran pelaku ekonomi dalam sistem
ekonomi Pancasila, yaitu sistem ekonomi yang berlandaskan nilai-nilai yang menjadi jatidiri
bangsa kita.
Sebagai kesimpulan, saya ingin menggarisbawahi bahwa kita harus secara sungguhsungguh
melanjutkan upaya untuk menyusun konsep ekonomi nasional yang berlandaskan nilainilai
dasar yang menjadi semangat bangsa ini pada waktu memerdekakan diri. Konsep tersebut
selain harus menjamin arah terwujudnya berbagai cita-cita itu, juga harus dapat menjawab dua tantangan besar yang dewasa ini berada di hadapan kita, yaitu memenangkan persaingan dalam era globalisasi dan membangun segenap potensi yang ada, dengan perhatian pada upaya memberdayakan masyarakat yang ekonominya tertinggal, sehingga dapat berperan secara aktif dalam kegiatan ekonomi nasional.
Kita menyaksikan di sekeliling kita bahwa semua sedang berubah. Dunia sedang dalam
proses perubahan. Masyarakat kita juga sedang dalam proses perubahan. Kita tidak boleh hanyut begitu saja dalam proses perubahan itu, tetapi kita harus tetap berpegang pada jatidiri kita yang dilandasi oleh nilai-nilai Pancasila. Oleh karena itu, peran BP7 dalam memberikan pembekalan P4 kepada masyarakat semakin ditantang dengan menyempurnakan metode maupun cara penyajiannya. Mudah-mudahan makalah ini ada manfaatnya.

Sumber : Ginandjar Kartasasmita
(Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Ketua Bappenas)
ILMU PENDIDIKAN TENTANG SISTEM PENDIDIKAN NASIONAL

ILMU PENDIDIKAN TENTANG SISTEM PENDIDIKAN NASIONAL

BAB I
PENDAHULUAN

I.I Latar Belakang Masalah
Pendidikan adalah suatu usaha sadar untuk menyiapkan peserta didik agar berperan aktif dan positif dalam hidupnya sekarang dan yang akan datang, dan pendidikan nasional Indonesia adalah pendidikan yang berakar pada pencapaian tujuan pembangunan nasional Indonesia.
Jenis pendidikan adalah pendidikan yang dikelompokan sesuai dengan sifat dan kekhususan tujuannya dan program yang termasuk jalur pendidikan sekolah terdiri atas pendidikan umum, Pendidikan keturunan dan pendidikan lainnya. Serta upaya pembaharuannya meliputi landasan yuridis, Kurikulum dan perangkat penunjangnya, struktur pendidikan dan tenaga kependidikan

I.2 Pembahasan Masalah
Pada hakikatnya penulis mengarahkan Langkah-langkah yang dijadikan pokok permasalahan dalam pembuatan makalah ini agar sasaran yang hendak dicapai dapat terwujud. Pokok permasalahan tersebut yaitu Bagaimana cara untuk menyiapkan peserta didik agar berperan aktif dan positif dalam hidupnya sekarang dan yang akan datang.

1.3 Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Landasan Pengembangan Kurikulum.




BAB II
SISTEM PENDIDIKAN NASIONAL

2.1 Kelembagaan
2.1.1 Kelembagaan Pendidikan
Pendidikan nasional dilaksanakan melalui lembaga-lembaga pendidikan baik dalam bentuk sekolah maupun dalam bentuk kelompok belajar. Penyelenggaraan SISDIKNAS dilaksanakan melalui 2 jalur yaitu jalur pendidikan sekolah dan jalur pendidikan luar sekolah, disingkat PLS.
1) Jalur pendidikan sekolah melalui kegiatan belajar mengajar secara berjenjang dan berkesinambungan (pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi). Sifatnya formal, diatur berdasarkan ketentuan-ketentuan pemerintah ada keseragaman pola yang bersifat nasional.
2) Jalur pendidikan luar sekolah merupakan pendidikan yang bersifat kemasyarakatan yang diselenggarakan di luar sekolah melalui kegiatan belajar mengajar yang tidak berjenjang dan tidak berkesinambungan seperti kursus-kursus di luar sekolah, yang sifatnya tidak formal.
3) Jenjang pendidikan adalah suatu tahap dalam pendidikan berkelanjutan yang ditetapkan berdasarkan tingkat perkembangan peserta didik serta keluasan dan ke dalam bahan pengajaran (UU RI. No. 2 tahun 1989 Bab I, Pasal 1 ayat 5).
 Jenjang pendidikan dasar untuk memberikan bekal dasar, atau pendidikan pertama/setara sampai tamat
 Jenjang pendidikan menengah selamanya 3 tahun sesudah pendidikan dasar, diselenggarakan di SLTA atau satuan pendidikan sederajat
 Jenjang pendidikan tinggi disebut Perguruan Tinggi yang dapat berbentuk akademik, politeknik, sekolah tinggi, institut dan Universitas.

2.1.2 Program Dan Pengelolaan Pendidikan
a. Jenis Program Pendidikan
Jenis pendidikan adalah pendidikan yang dikelompokan sesuai dengan sifat dan kekhususan tatanannya (UU RI. No. 2 tahun 1989 Bab 1 ayat 4 No.2 Tahun 1989).
1) Pendidikan umum adalah pendidikan yang mengutamakan perluasan pengetahuan dan keterampilan peserta didik. Pendidikan berfungsi untuk sebagaimana acuan umum bagi jenis pendidikan lainnya.
Yang termasuk pendidikan umum: SD, SMP, SMA dan Universitas.
2) Pendidikan kejuruan adalah pendidikan yang mempersiapkan peserta didik untuk dapat bekerja pada bidang pekerjaan tertentu. Sperti bidang teknik tata boga, dan busana perhotelan, kerajinan, administrasi, perkantoran dan lain-lain lembaga pendidikannya seperti STM.
3) Pendidikan luar biasa merupakan pendidikan khusus yang diselenggarakan untuk peserta didik yang menyandang kelainan fisik/mental yang termasuk pendidikan luar biasa adalah SDLB untuk jenjang dasar, dan PLB untuk jenjang pendidikan menengah memiliki program khusus yaitu program untuk anak tuna netra, tuna rungu, tuna daksa, dan tuna grahita. Untuk pendidikan gurunya disediakan SGPIB (Sekolah Guru Pendidikan Luar Biasa) setara dengan Diploma III
4) Pendidikan kedinasan merupakan pendidikan khusus yang diselenggarakan untuk meningkatkan kemampuan pemerintah dan non departemen
5) Pendidikan keagamaan merupakan pendidikan khusus yang mempersiapkan peserta didik dalam melaksanakan peranan yang khusus dalam pengetahuan ajaran agama, yang terdiri dari tingkat pendidikan dasar, menengah dan pendidikan tinggi



b. Kurikulum Program Pendidikan
- Istilah kurikulum asal mulanya dari dunia olah raga pada zaman Yunani Kuno. Curir berarti “pelari” dan Curere artinya “tempat terpaku” Kurikulum kemudian diartikan “jarak yang harus ditempuh” oleh pelari (Nana Sujana, 1989: 4) berdasarkan arti yang terkandung kurikulum dalam pendidikan dianalogikan sebagai arena tempat peserta didik berlari untuk mencapai “finish” berupa ijazah, diploma, gelar (Zais, 1976 yang dikutip oleh Muhammad Ansyar dan Nurtain, 1992:7)
- Tujuan pendidikan nasional dinyatakan di dalam UU RI No. 2 tahun 1989 pasal 3 (a) terwujudnya bangsa yang cerdas, (b) manusia yang utuh beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa, (c) budi pekerti luhur, (d) terampil dan berpengetahuan, (e) sehat jasmani dan rohani, (f) berkepribadian yang mantap dan mandiri, (g) bertanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan. Jadi tuntutan pendidikan nasional diberlakukan untuk semua satuan pendidikan, dari pendidikan pra sekolah, pendidikan tinggi, pendidikan pra sekolah dan pendidikan luar sekolah, pendidikan anak luar biasa, pendidikan kedinasan dan seterusnya.
Pasal 38 ayat 2 menyatakan: Kurikulum yang berlaku secara nasional ditetapkan oleh Menteri. Pimpinan lembaga pemerintah non departemen berdasarkan pelimpahan wewenang dalam negeri.
- Untuk muatan lokal unit kecil lazimnya dimulai dari kurikulumnya sedangkan untuk muatan lokal untuk besar dimulai dari muatan lokalnya. Dapat digambarkan sebagai berikut:


c. Cara Merancang Pengajaran
Cara menjabarkan muatan lokal ke dalam bentuk rancangan pengajaran. Kegiatan ini sudah dimanfaatkan wawasan tentang pendekatan yang digunakan, strategi belajar, metode/teknik, sarana.
1. Faktor penghambat pelaksanaan muatan lokal
- Sifat di pelajaran lokal itu sendiri
- Segi ketenagaan
- Proses belajar mengajar
- Sistem ujian akhir dan ijazah yang diselenggarakan di sekolah
- Sarana penunjang bagi pelaksanaan muatan lokal
2. Faktor penunjang pelaksanaan muatan lokal
- Keinginan dari kebanyakan peserta didik untuk cepat memperoleh bekal dan pekerjaan apapun yang membawa hasil
- Sarana cukup banyak
- Ketenagaan yang bervariasi
- Materi muatan lokal yang sudah tercantum sebagai materi kurikulum dan sudah dilaksanakan secara rutin
- Media masa khususnya media komunikasi visual seperti TV, Radio

2.2 Pembaharuan Pendidikan
Sistem pendidikan selalu menghadapi tantangan baru, dengan serta merta timbulnya kebutuhan-kebutuhan baru untuk menghadapi tantangan baru itu pendidikan berupaya melakukan pembaharuan dengan jalan menyempurnakan sistemnya.
Pembaharuan yang terjadi meliputi landasan yuridis, kurikulum dan perangkat penunjangnya, struktur pendidikan, dan tenaga kependidikan
1. Pembaharuan pendidikan yang sangat mendasar ialah pembaharuan yang tertuju pada landasan yuridisnya karena landasan yuridis berhubungan dengan hal-hal yang bersifat mendasari semua kegiatan pelaksanaan pendidikan dan mengenai hal-hal yang penting seperti komponen struktur pendidikan, kurikulum, pengelolaan, pengawasan, ketenagaan.
2. Pembaharuan kurikulum yaitu sifatnya mempertahankan dan mengubah
3. Pembaharuan pola masa studi termasuk pendidikan yang meliputi pembaharuan jenjang dan jenis pendidikan serta lama waktu belajar pada suatu satuan pendidikan
4. Pembaharuan tenaga kependidikan adalah tenaga yang bertugas menyelenggarakan kegiatan belajar mengajar, melatih, meneliti, mengembangkan, mengelola, memberikan pelayanan teknis dalam bidang pendidikan.

2.3 Dasar dan Aspek Legal Pembangunan Pendidikan Nasional
Berupa ketentuan-ketentuan yuridis yang sangat mendasar acuan serta mengatur penyelenggaraan sistem pendidikan nasional seperti Pancasila, UUD 1945, GBHN, UU Organik Pendidikan Peraturan Pemerintah dan lain-lain. Sistem pendidikan nasional yang mempunyai misi mencerdaskan kehidupan bangsa
Program utama pembangunan pendidikan, yaitu:
a. Perjuangan dan penerapan kesempatan mengikuti pendidikan
b. Peningkatan mutu pendidikan
c. Peningkatan relevansi pendidikan
d. Pendidikan efisiensi dan efektivitas pendidikan
e. Pengembangan kebudayaan
f. Pembinaan generasi muda
Program pokok pembangunan pendidikan dinyatakan dalam GBHN memberi pedoman bagi upaya merealisasikan pasal 31 dan 32 UUD 1945, yakni bahwa:
 Tiap warga negara mendapat pengajaran
 Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pengajaran nasional
 Pemerintah memajukan kebudayaan nasional Indonesia
Untuk menyongsong laju pembangunan nasional maka upaya penyempurnaan UU Organik bidang pendidikan dilakukan terus dan sebagai hasilnya lahirlah UU RI No. 2 tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Sejumlah peraturan pemerintah yaitu pasal-pasal tertentu dari UU RI no. 2 tahun 1989 peraturan pemerintah, yaitu:
- PP No. 27 th 1990 tentang Pendidikan Pra Sekolah
- PP No. 28 th 1990 tentang Pendidikan Dasar
- PP No. 29 th 1990 tentang Pendidikan Menengah
- PP No. 30 th 1990 tentang Pendidikan Tinggi
- PP No. 73 th 1991 tentang Pendidikan Luar Sekolah
- PP No. 38 th 1991 tentang Tenaga Kependidikan
- PP No. 39 th 1992 tentang Peran Serta Masyarakat Dalam Pendidikan
Pendidikan nasional Indonesia memiliki cirri khas sehingga berbeda dengan sistem pendidikan nasional bangsa lain, tampak pada landasan, dasar penyelenggaraan dan perkembangannya. Landasan dan dasarnya menjiwai sistem pendidikan sedangkan pola penyelenggaraan dan perkembangannya memberikan warna coraknya. Penyelenggaraannya terwujud pada: jalur, jenjang dan jenis pendidikan berfungsi menyiapkan sumber daya manusia untuk pembangunan, pengembangan sistem pendidikan nasional mesti berdasar kepada aspek legal.


BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Pendidikan adalah suatu usaha sadar untuk menyiapkan peserta didik agar berperan aktif dan positif dalam hidupnya sekarang dan yang akan datang, dan pendidikan nasional Indonesia adalah pendidikan yang berakar pada pencapaian tujuan pembangunan nasional Indonesia.
Jadi sistem pendidikan nasional merupakan satu keseluruhan yang terpadu dari semua suatu kegiatan pendidikan yang saling berkaitan untuk mengusahakan tercapainya tujuan pendidikan nasional dan diselenggarakan oleh pemerintah swasta di bawah tanggung jawab Menteri Dikbud dan Menteri lainnya.
Jenis pendidikan adalah pendidikan yang dikelompokan sesuai dengan sifat dan kekhususan tujuannya dan program yang termasuk jalur pendidikan sekolah terdiri atas pendidikan umum, Pendidikan keturunan dan pendidikan lainnya. Serta upaya pembaharuannya meliputi landasan yuridis, Kurikulum dan perangkat penunjangnya, struktur pendidikan dan tenaga kependidikan

3.2 Saran
Dewasa ini sistem pendidikan nasional selalu dianggap sepele padahal sangatlah penting. Peserta didik mengetahui cara dan bagaimana mengetahui tentang sistem pendidikan nasional. Jadi kita sebagai pelajar dan peserta didik harus tahu jenis, jalur, program sistem pendidikan nasional.

DAFTAR PUSTAKA

Center for Informatics office of Education an Cultural Research and Development Ministry of Education an Culture, (1990) Jakarta: education Indicator: Indonesia
Depdikbud (1989) UU RI No. 2 tahun 1982 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Jakarta; Balai Pustaka
Nana Sudjana, (1989). Pendidikan dan Pengembangan Kurikulum. Jakarta: P2G Depdikbud
UUD P4 dan GBHN


sumber    : http://www.anakciremai.com/2008/05/makalah-ilmu-pendidikan-tentang-sistem.html
 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. Tugas Softskill - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template | Distributed By: BloggerBulk
Proudly powered by Blogger