Soffkil Minggu 4
Soffkil Minggu 4
TINGKAT KESEHATAN BANK
1. PENILAIAN CAPITAL
CAPITAL
Penilaian pertama adalah aspek permodalan, dimana aspek ini
menilai permodalan yang
dimiliki bank yang didasarkan :
1. kewajiban penyediaan modal minimum bank (KPMM)
2. Komposisi permodalan
3. Trend ke masa depan / proyeksi KPMM
4. Aktiva produktif yang diklasifikasikan dibandingkan
dengan modal bank
5. Kemampuan Bank memelihara kebutuhan penambahan modal yang
berasal dari
keuntungan (laba ditahan)
6. Rencana permodalan Bank untuk mendukung pertumbuhan usaha
7. Akses kepada sumber permodalan dan
8. Kinerja keuangan pemegang saham untuk meningkatkan
permodalan bank
1. Komponen Kecukupan pemenuhan KPMM dihitung dengan
menggunakan rumus :
2. Komponen kedua adalah komposisi permodalan di lihat dengan
rumus :
3. Komponen Capital tentang Trend ke depan Proyeksi KPMM
dilihat dari angka
pertumbuhan Modal dan ATMR
4. Komponen APYD dibanding dengan modal di hitung dengan
rumus
Klasifikasinya adalah :
1. 25% dr Aktiva Produktif dalam perhatian Khusus
2. 50% dr Aktiva Produktif Kurang Lancar
3. 75% dr Aktiva Produktif Diragukan
4. 100% dr Aktiva Produktif Macet
Sistem Informasi Perbankan, Pertemuan Ke-9
Noviyanto, ST Halaman 2
5. Komponen Kemampuan Bank memelihara kebutuhan penambahan
modal yang berasal
dari keuntungan (laba ditahan)
6. Komponen Rencana permodalan untuk mendukung pertumbuhan
usaha Jasa dilihat
dari Indikator pendukung seperti persentase rencana
pertumbuhan Modal dibandingkan
dengan persentase rencana pertumbuhan Volume Usaha
7. Akses kepada sumber permodalan
Selain itu juga dilihat Profitabilitas Bank yang dihitung
dari Return On Asset (ROA)
2. PENILAIAN ASSET
(Aset adalah manfaat ekonomik masa datang yang cukup pasti
atau diperoleh atau dikuasai/dikendalikan oleh suatu entitas akibat transaksi
atau kejadian masa lalu.)
Dengan makna yang sama, IASC mendefinisi aset sebagai
berikut:
An assets is resource controlled by the enterprise as a
result of past events and from which future economic benefits are expected to
flow to the enterprise.
Dalam Statement of Accounting Concepts No. 4, Australian
Accounting Standard Board (AASB) mendefinisi aset sebagai berikut:
Assets are service potential or future economic benefits
controlled by the reporting entity as a result of past transaction or other
past events.
Definisi FASB dan AASB cukup dibanding definisi yang lain
luas karena aset dinilai mempunyai sifat sebagai manfaat ekonomik (economic
benefits) dan bukan sebagai sumber ekonomik (resources) karena manfaat ekonomik
tidak membatasi bentuk atau jenis sumber ekonomik yang dapat dimasukkan sebagai
aset.
Berdasar uraian diatas, pada dasarnya dapat disimpulkan
bahwa terdapat tiga karakteristik utama yang harus dipenuhi agar suatu objek
atau pos dapat disebut aset, yaitu:
1. Manfaat ekonomik yang datang cukup pasti
Untuk dapat disebut sebagai aset, suatu objek harus
mengandung manfaat ekonomik di masa datang yang cukup pasti. Uang atau kas
mempunyai manfaat atau potensi jasa karena daya belinya atau daya tukarnya.
Sumber selain kas mempunyai manfaat ekonomik karena dapat ditukarkan dengan
kas, barang, atau jasa, karena dapat digunakan untuk memproduksi barang dan
jasa, atau karena dapat digunakan untuk melunasi kewajiban.
2. Dikuasai atau dikendalikan entitas
Untuk dapat disebut sebagai aset, suatu objek atau pos tidak
harus dimiliki oleh entitas tetapi cukup dikuasai oleh entitas. Oleh, karena
itu, konsep penguasaan atau kendali lebih penting daripada konsep kepemilikan.
Penguasaan disini berarti kemampuan entitas untuk mendapatkan, memelihara/menahan,
menukarkan, menggunakan manfaat ekonomik dan mencegah akses pihak lain terhadap
manfaat tersebut. Hal ini dilandasi oleh konsep dasar substansi mengungguli
bentuk yuridis (substance over form). Pemilikan (ownership) hanya mempunyai
makna yuridis atau legal.
3. Timbul akibat transaksi masa lalu
Kriteria ini sebenarnya menyempurnakan kriteria penguasaan
dan sekaligus sebagai kriteria atau tes pertama (first-test) pengakuan objek
sebagai aset. Aset harus timbul akibat dari transaksi atau kejadian masa lalu
adalah kriteria untuk memenuhi definisi. Penguasaan harus didahului oleh
transaksi atau kejadian ekonomik. FASB memasukkan transaksi atau kejadian
sebagai kriteria aset karena transaksi atau kejadian tersebut dapat menimbulkan
(menambah) atau meniadakan (mengurangi) aset. Misalnya perubahan tingkat bunga,
punyusutan atau kecelakaan.
3. PENILAIAN MANAGEMENT
Manajemen atau pengelolaan suatu bank akan menentukan sehat
tidaknya suatu bank. Mengingat hal tersebut, maka pengelolaan suatu manajemen
sebuah bank mendapatkan perhatian yang besar dalam penilaian tingkat kesehatan
suatu bank diharapkan dapat menciptakan dan memelihara kesehatannya.
Penilaian faktor manajemen dalam penilaian tingkat kesehatan
bank umum dilakukan dengan melakukan evaluasi terhadap pengelolaan terhadap
bank yang bersangkutan. Penilaian tersebut dilakukan dengan mempergunakan
sekitar seratus kuesioner yang dikelompokkan dalam dua kelompok besar yaitu
kelompok manajemen umum dan kuesioner manajemen risiko. Kuesioner kelompok manajemen
umum selanjutnya dibagi ke dalam sub kelompok pertanyaan yang berkaitan dengan
strategi, struktur, sistem, sumber daya manusia, kepemimpinan, budaya kerja.
Sementara itu, untuk kuesioner manajemen risiko dibagi dalam sub kelompok yang
berkaitan dengan risiko likuiditas, risiko pasar, risiko kredit, risiko
operasional, risiko hukum dan risiko pemilik dan pengurus.
4. PENILAIAN EARNING
Salah satu parameter untuk mengukur tingkat kesehatan suatu
bank adalah kemampuan bank untuk memperoleh keuntungan. Perlu diketahui bahwa
apabila bank selalu mengalami kerugian dalam kegiatan operasinya maka tentu
saja lama kelamaan kerugian tersebut akan memakan modalnya. Bank yang dalam
kondisi demikian tentu saja tidak dapat dikatakan sehat.
Penilaian didasarkan kepada rentabilitas atau earning suatu
bank yaitu melihat kemampuan suatu bank dalam menciptakan laba. Penilaian dalam
unsur ini didasarkan pada dua macam, yaitu :
1) Rasio Laba
terhadap Total Assets (ROA / Earning 1). Rumusnya adalah :
Penilaian rasio earning 1 dapat dilakukan sebagai berikut
untuk rasio 0 % atau negatif diberi nilai kredit 0, dan untuk setiap kenaikan
0,015% mulai dari 0% nilai kredit ditambah dengan nilai maksimum 100.
2) Rasio Beban
Operasional terhadap Pendapatan Operasional (Earning 2). Rumusnya adalah :
Penilaian earning 2 dapat dilakukan sebagai berikut untuk
rasio sebesar 100% atau lebih diberi nilai kredit 0 dan setiap penurunan
sebesar 0,08% nilai kredit ditambah 1 dengan maksimum 100.
5. PENILAIAN LIQUIDITY
Likuiditas (Liquidity)
Yaitu penilaian pendekatan kuantitatif dan kualitatif faktor
likuiditas antara lain dilakukan melalui penilaian terhadap komponen-komponen
sebagai berikut:
Aktiva likuid kurang dari 1 bulan dibandingkan dengan pasiva
likuid kurang dari 1 bulan
1-month maturity mismatch ratio
Loan to Deposit Ratio (LDR)
Proyeksi cash flow 3 bulan mendatang
Ketergantungan pada dana antar bank dan deposan inti
Kebijakan dan pengelolaan likuiditas (assets and liabilities
management/ALMA)
Kemampuan Bank untuk memperoleh akses kepada pasar uang,
pasar modal, atau sumber-sumber pendanaan lainnya dan stabilitas dana pihak
ketiga (DPK).
6. PENILAIAN SENSITIVITY
Yaitu penilaian pendekatan kuantitatif dan kualitatif faktor
sensitivitas terhadap risiko pasar antara lain dilakukan melalui penilaian
terhadap komponen-komponen sebagai berikut:
Modal atau cadangan yang dibentuk untuk mengcover fluktuasi
suku bunga dibandingkan dengan potential loss sebagai akibat fluktuasi (adverse
movement) suku bunga
Modal atau cadangan yang dibentuk untuk mengcover fluktuasi
nilai tukar dibandingkan dengan potential loss sebagai akibat fluktuasi
(adverse movement) nilai tukar, dan
Kecukupan penerapan sistem manajemen risiko pasar.
Kesehatan atau kondisi keuangan dan non keuangan Bank
merupakan kepentingan semua pihak terkait, baik pemilik, pengelola (manajemen)
Bank, masyarakat pengguna jasa Bank, Bank Indonesia selaku otoritas pengawasan
Bank, dan pihak lainnya. Kondisi Bank tersebut dapat digunakan oleh pihak-pihak
tersebut untuk mengevaluasi kinerja Bank dalam menerapkan prinsip
kehati-hatian, kepatuhan terhadap ketentuan yang berlaku dan manajemen risiko.
Perkembangan industri perbankan, terutama produk dan jasa yang semakin kompleks
dan beragam akan meningkatkan eksposur risiko yang dihadapi Bank. Perubahan
eksposur risiko Bank dan penerapan manajemen risiko akan mempengaruhi profil
risiko Bank yang selanjutnya berakibat pada kondisi Bank secara keseluruhan.
Perkembangan metodologi penilaian kondisi Bank senantiasa bersifat
dinamis sehingga sistem penilaian tingkat kesehatan Bank harus diatur kembali
agar lebih mencerminkan kondisi Bank saat ini dan di waktu yang akan datang.
Pengaturan kembali tersebut antara lain meliputi penyempurnaan pendekatan
penilaian (kualitatif dan kuantitatif) dan penambahan faktor penilaian.
Bagi perbankan, hasil akhir penilaian kondisi Bank tersebut
dapat digunakan sebagai salah satu sarana dalam menetapkan strategi usaha di
waktu yang akan datang sedangkan bagi Bank Indonesia, antara lain digunakan
sebagai sarana penetapan dan implementasi strategi pengawasan Bank. Agar pada
waktu yang ditetapkan Bank dapat menerapkan sistem penilaian tingkat kesehatan
Bank sebagaimana diatur dalam Peraturan Bank Indonesia ini, maka perbankan
perlu melakukan langkah-langkah persiapan dalam menerapkan sistem tersebut.
TEKNILOGI SISTEM INFORMASI PERBANKAN
a. Perkembangan teknologi komputer di Perbankan
Semakin majunya teknologi di dunia transaksi perbankanpun
mulai mengunakan teknologi berbasis komputer untuk mempermudah transaksi dengan
nasabah. yang tadinya melayani nasabah dengan harus bertemu / nasabah datang ke
cabang2 bank yang disediakan oleh bank yang dia gunakan untuk
menabung/infertasi menjadi lebih mudah karena bank mulai mengunakan teknoligi berbasis
komputer dan sekarang sudah bisa mengakses lewat internet bahkan dengan mobile
“HP” dengan SMS sudah banyak diterapkan bank.
Dalam dunia perbankan, perkembangan teknologi informasi
membuat para perusahaan mengubah strategi bisnis dengan menempatkan teknologi
sebagai unsur utama dalam proses inovasi produk dan jasa seperti :
- Adanya transaksi berupa Transfer uang via mobile maupun
via teller.
- Adanya ATM ( Auto Teller Machine ) pengambilan uang secara
cash secara 24 jam.
- Penggunaan Database di bank – bank.
- Sinkronisasi data – data pada Kantor Cabang dengan Kantor
Pusat Bank.
Dengan adanya jaringan computer hubungan atau komunikasi
kita dengan klien jadi lebih hemat, efisien dan cepat. Contohnya : email,
teleconference.
Sedangkan di rumah dapat berkomunikasi dengan pengguna lain
untuk menjalin silaturahmi (chatting), dan sebagai hiburan dapat digunakan
untuk bermain game online, sharing file. Apabila kita mempunyai lebih dari satu
komputer, kita bisa terhubung dengan internet melalui satu jaringan. Contohnya
seperti di warnet atau rumah yang memiliki banyak kamar dan terdapat setiap
komputer di dalamnya.
Pada dunia perbankan, perkembangan teknologi informasi
membuat para perusahaan mengubah strategi bisnis dengan menempatkan teknologi
sebagai unsur utama dalam proses inovasi produk dan jasa. Seperti halnya
pelayanan electronic transaction (e-banking) melalui ATM, phone banking dan
Internet Banking misalnya, merupakan bentuk-bentuk baru dari pelayanan bank
yang mengubah pelayanan transaksi manual menjadi pelayanan transaksi yang
berdasarkan teknologi.
b. Kriteria pemilihan teknologi perangkat lunak perbankan
Lembaga keuangan di Indonesia, termasuk bank, sudah lebih
cepat dan intensif dibandingkan sector atau jenis industri lainnya dalam
menerapkan teknologi computer dalam memberikan pelayanannya ke nasabah.
Jasa-jas ini meliputi pembayaran komputerisasi (pemindahan dana melalui
computer dengan fasilitas jaringan komunikasi datanya); jasa penyetoran dan
pengambilan dana secara otomatis melalui ATM atau berbagai jenis kartu plastic;
homebanking dan internet banking serta fasilitas pelayanan lainnya. Beberapa
contoh jenis teknologi computer tersebut diantaranya mesin Automated Teller
Machine (ATM), berbagai jenis kartu kredit, Point of sales (POS), electronic
fund transfer system, dan otomatisasi kliring.
Fungsi teknologi informasi (TI) telah mengalami perubahan
dan perkembangan pesat pada decade terakhir ini. Fungsi TI yang semakin khusus
mendorong setiap bank untuk membentuk bagian, departemen, atau unit kerja
khusus tersendiri. Walaupun struktur tersebut tergantung pada berbagai factor
misalnya skla bisnis dan beban kerja, tetapi unit kerja tersebut mencerminkan 2
aspek kegiatan yaitu aspek pengembangan teknologi dan aspek operasionalnya.
Fasilitas pengolahan data yang tersedia di bank saat ini
merupakan hasil kemajuan teknologi dan kebutuhan untuk menjalankan operasi
secara sistematis dan baik sesuai dengan aliran masuk dan keluar dana bank.
Fasilitas tersebut berfungsi untuk menangani, memilih, menghitung, menyusun,
melaporkan, dan mengirimkan informasi. Jadi penggunaan TI di bank dimaksud
adalah untuk meningkatkan efektifitas dan efisiensi pengelolaan data kegiatan
usaha perbankan sehingga dapat memberikan hasil yang akurat, benar, tepat
waktu, dan dapat menjamin kerahasiaan informasi (sesuai peraturan Bank
Indonesia).
Fungsi TSI yang tepat tidak terlepas dari criteria pemilihan
jenis teknologi yang akan digunakan oleh bank. Sistem aplikasi computer yang
digunakan di bidang perbankan harus bisa mengakomodasikan semua kebutuhan bank
dan sesuai dengan ketentuan otoritas moneter (salam hal ini adalah Bank
Indonesia). Hal ini memerlukan pemilihan software computer mengingat jenis
software yang ada dan ditawarkan di pasar relative banyak. Secara umum pemilihan
ini berdasarkan kesesuaian antara kapasita bank dengan fasilitas atau kemampuan
software yang akan dipilih sehingga investasi yang telah dikeluarkan
benar-benar efektif dan memberikan nilai tambah terhadap bank.
Sebagai contoh, Bank yang kapasitasnya relative kecil,
misalnya Bank Perkreditan Rakyat atau BPR kurang relevan bila menggunakan
system aplikasi computer yang menyediakan fasilitas transaksi dalam valuta
asing atau pengelolaan giro. Hal ini menginbgat bahwa BPR tidak boleh melakukan
transaksi dalam valuta asing dan tidak ikut dalam lalu lintas pembayaran giral.
Penggunaan software tersebut menjadi tidak efisien dan biaya investasinya lebih
besar dibandingkan dengan nilai tambah yang dihasilkannya.
Kriteria pemilihan software computer perbankan yang baik
sesuai dengan kebutuhan bank secara umum berdasarkan pertimbangan-pertimbangan
berikut:
1. Kemampuan dokumentasi atau Penyimpanan Data
Jenis dan klasifikasi data bank yang relative banyak harus
bisa ditampung oleh software yang akan digunakan, termasuk pertimbangan segi
keamanan datanya. Jumlah nasabah serta frekuensi dan jumlah transaksi harian
yang besar memerlukan memory computer yang besar, selain memerlukan kecepatan
prosesor yang tinggi juga. Sebagai contoh BPR kurang efisien jika menggunakan
mesin besar, misalnya AS/400 dalm operasionalnya karena kapasitas dan cakupan
geografis BPR biasanya relative kecil.
2. Keluwesan (Flexibility)
Operasional bank selalu berkembang dengan kebutuhan yang
berubah-ubah dan mungkin bertambah di kemudian hari walaupun informasi dasarnya
tetap sama. Kondisi ini harus bisa diantisipasi oleh perangkat lunak computer
sampai batas-batas tertentu. Setiap bank mempunyai system dan prosedur yang
mungkin berbeda meskipun data atau informasi dasar yang diolahnya sama.
Perangkat lunak computer yang fleksibel dapat digunakan oleh dua bank yang
kapasitasnya sama tetapi system dan prosedurnya berbeda.
3. Sistem Keamanan
Sebagai lembaga kepercayaan masyarakat (agent of trusth),
bank memerlukan system keamanan yang handal untuk menjaga kerahasiaan data atau
keuangan nasabah; serta mencegah penyalahgunaan data atau keuangan oleh pihak
lain yang tidak bertanggung jawab. Software computer perbankan yang baik harus
menyediakan fasilitas pengendalian dan pengamanan tersebut.
4. Kemudahan penggunaan (user friendly)
Pengertian mudah dioperasikan bukan berarti setiap pemakai
(user) bisa mengakses ke software tersebut tetapi petugas yang memang mempunyai
kewenangan mudah mengoperasikan proses yang menjadi tanggung jawabnya. Tahap
input, proses, dan output yang dilakukan pada software tersebut tidak menjadi
penghambat dalam kegiatan perbankan secara keseluruhan. System aplikasi computer
yang baik bahkan dapat mendeteksi kesalahan pengoperasian yaitu dengan
memberikan error message dan memberikan petunjuk pemecahan masalahnya.
5. Sistem Pelaporan (Reporting system)
Data atau informasi yang dibutuhkan harus bisa disajikan
dalam bentuk yang jelas dan mudah dimengerti. Bank memerlukan laporan-laporan
yang lengkap dan jelas tersebut terutama dalam proses pemeriksaan (audit) atau
penyajian laporan yang bisa dimengerti oleh pihak-pihak yang berkempentingan
dengan harapan keuangan setiap bank menjadi lebih transparan dan bisa
dipertanggungjawabkan.
6. Aspek Pemeliharaan
Kinerja software perbankan diharapkan relative stabil selama
bank beroperasi. Kondisi ini memerlukan aspek pemeliharaaan yang baik, dalam
arti secara teknis tidak sulit dilakukan dan tidak membutuhkan biaya yang
relative mahal. Pemeliharaan ini juga menyangkut pergantian atau perbaikan
teknis peralatan dan modifikasi atau pengembangan software.
7. Source Code
Software perbankan biasanya merupakan program paket yang
sudah di-compile sehingga menjadi excecutable file. File program tersebut
relative tidak bisa dirubah atau dimodifikasi seandainya bank menginginkan
perubahan atau fasilitas tambahan dari software tersebut. Kondisi ini bisa
diatasi jika pihak bank mempunyai dan memahami software tersevut dalam bentuk
bahasa pemrograman aslinya atau source code.
c. Struktur informasi dan hubungan antar sub sistem aplikasi
bank
Hubungan antar sub sistem aplikasi pada operasional bank.
Konsep front office yang lebih mendekati sisi nasabah dan
konsep back office yang lebih mendekati sisi bank sebagai lembaga keungan yang
harus mencatat, mendokumentasikan, dan atau mempublikasikan informasi keuangan,
menyebabkan system aplikasi perbankan terdiri dari sub-sub system yang saling
berkaitan sesuai dengan tahap-tahap pemrosesan dan jenis-jenis data keuangan.
Hubungan tersebut bisa dilihat pada gambar berikut.
SISTEM KLIRING DAN PEMINDAHAN DANA ELEKTRONIK DI INDONESIA
a. Prinsip kliring
Pengertian umum kliring adalah pertukaran warkat atau data
keuangan elektronik antar bank baik atas nama Bank maupun nasabah yang hasil
perhitungannya diselesaikan pada waktu tertentu. Penyelenggaraan kliring di Jakarta pada
awalnya dilaksanakan secara manual. Namun dalam perkembangannya, sejalan dengan
meningkatnya transaksi perekonomian nasional khususnya di Jakarta dimana pada
akhir tahun 1989 volume warkat telah mencapai 82.052 lembar warkat perhari
dengan jumlah bank peserta mencapai 613 bank. Hal ini menyebabkan
penyelenggaraan kliring secara manual dirasakan tidak efektif dan efisien lagi
dan suasana pertemuan kliring yang hiruk pikuk sering kali diibaratkan dengan
suasana “pasar burung”.
Melihat kondisi tersebut, Direksi Bank Indonesia dengan SKBI
No. 21/9/KEP/DIR tanggal 23 Mei 1988, kemudian menetapkan untuk mengubah sistem
penyelenggaraan kliring lokal Jakarta dari sistem manual menjadi sistem otomasi
kliring. Meskipun demikian baru pada tanggal 4 Juni 1990 sistem otomasi dapat diimplementasikan untuk memproses kliring
penyerahan. Sementara untuk proses kliring pengembalian tetap dilakukan secara
manual, sampai kemudian pada tahun 1994 diganti dengan sistem semi otomasi yang
kemudian dikenal dengan sebutan SOKL .
Pada tahun 1996 rata-rata volume warkat kliring Jakarta
mencapai 216.911 lembar per hari, dengan pertumbuhahan rata-rata dalam tiga
tahun sekitar 6%. Hal tersebut menyebabkan meningkatnya tekanan dalam kegiatan
proses warkat kliring baik di bank peserta maupun di Bank Indonesia karena
keterbatasan kemampuan sarana kliring yang ada dibandingkan dengan peningkatan
jumlah warkat kliring. Pada gilirannya hambatan-hambatan tersebut menyebabkan
terjadinya keterlambatan dalam settlement dan penyediaan informasi hasil
kliring. Hal ini berpotensi mengurangi kepercayaan masyarakat terhadap bank dan
merugikan lembaga lain yang terkait serta menimbulkan efek negatif berantai
(systemic risk)
b. Informasi pada check dan struktur kode mirc
Dokumen kliring merupakan dokumen kontrol dan berfungsi
sebagai alat bantu dalam proses perhitungan kliring yang terdiri dari :
1. Bukti Penyerahan Warkat Debet – Kliring Penyerahan
(BPWD);
2. Bukti Penyerahan Warkat Kredit – Kliring Penyerahan
(BPWK);
3. Kartu Batch Warkat Debet;
4. Kartu Batch warkat Kredit; dan
5. Lembar Subsitusi.
Setiap warkat dan dokumen kliring yang digunakan wajib
memenuhi spesifikasi teknis yang ditetapkan Bank Indonesia antara lain meliputi
kualitas kertas, ukuran, dan rancang bangun. Setiap pembuatan dan pencetakan
warkat dan dokumen kliring untuk pertama kali dan atau perubahannya oleh
peserta wajib memperoleh persetujuan secara tertulis dari Bank Indonesia Dalam
Kliring Elektronik, agar data pada warkat dan dokumen kliring dapat dibaca oleh
mesin baca pilah yang ada di Penyelenggara maka warkat dan dokumen kliring
tersebut wajib dicantumkan Magnetic Ink Character Recognition (MICR) code line.
MICR adalah tinta magnetic khusus yang dicantumkan pada clear band yang merupakan
informasi dalam bentuk angka dan simbol.
c. Sistem kliring elektronik di indonesia
Direksi Bank Indonesia dengan SKBI No. 21/9/KEP/DIR tanggal
23 Mei 1988, kemudian menetapkan untuk mengubah sistem penyelenggaraan kliring
lokal Jakarta dari sistem manual menjadi sistem otomasi kliring. Meskipun
demikian baru pada tanggal 4 Juni 1990 sistem otomasi dapat diimplementasikan untuk memproses
kliring penyerahan. Sementara untuk proses kliring pengembalian tetap dilakukan
secara manual, sampai kemudian pada tahun 1994 diganti dengan sistem semi
otomasi yang kemudian dikenal dengan sebutan SOKL .
Pada tahun 1996 rata-rata volume warkat kliring Jakarta
mencapai 216.911 lembar per hari, dengan pertumbuhahan rata-rata dalam tiga
tahun sekitar 6%. Hal tersebut menyebabkan meningkatnya tekanan dalam kegiatan
proses warkat kliring baik di bank peserta maupun di Bank Indonesia karena
keterbatasan kemampuan sarana kliring yang ada dibandingkan dengan peningkatan
jumlah warkat kliring. Pada gilirannya hambatan-hambatan tersebut menyebabkan
terjadinya keterlambatan dalam settlement dan penyediaan informasi hasil
kliring. Hal ini berpotensi mengurangi kepercayaan masyarakat terhadap bank dan
merugikan lembaga lain yang terkait serta menimbulkan efek negatif berantai (systemic
risk)
Sehubungan dengan itu, sesuai acuan pokok pengembangan
sistem pembayaran nasional (Blue Print Sistem Pembayaran Nasional Bank
Indonesia;1995) yang antara lain memuat visi, kerangka kebijakan dan
langkah-langkah yang perlu dikembangkan dalam menciptakan sistem pembayaran
nasional yang lebih efektif, efisien, handal dan aman, maka pada tahun 1996
konsep penyelenggaraan kliring lokal secara elektronik dengan teknologi image
mulai dikembangkan oleh Urusan Akunting dan Sistem Pembayaran Bank Indonesia.
Pada tanggal 18 September 1998, Bank Indonesia mencatat sejarah baru dalam
bidang sistem pembayaran dimana untuk pertama kalinya di Indonesia diresmikan
penggunaan Sistem Kliring Elektronik (SKE) oleh Gubernur Bank Indonesia, DR.
Syahril Sabirin. Penerapan SKE tersebut dilakukan pada Penyelenggaraan Klring
Lokal Jakarta dimana pada awal implementasi, jumlah peserta yang ikut serta
masih terbatas 7 bank peserta kliring (BRI, BDN, BII, BCA, Deutsche Bank,
Standard Chartered, Citibank) dan 2 peserta intern dari Bank Indonesia (Bagian
Akunting Thamrin dan Bagian Akunting Kota). Keikutsertaan kantor-kantor bank
dalam Kliring Elektronik dilakukan secara bertahap sesuai dengan kesiapan
teknis masing-masing peserta. Bagi kantorkantor bank yang belum menjadi anggota
Kliring Elektronik, perhitungan kliring tetap menggunakan sistem kliring
otomasi. Implementasi Kliring Elektronik secara menyeluruh kepada seluruh
peserta kliring di Jakarta baru dilaksanakan pada tanggal 18 Juni 2001
d. Bank Indonesia Real Time Gross Settlement(BI-RTGS)
Untuk mendukung efektifitas implementasi kebijakan moneter
dan untuk mempercepat pemulihan industri perbankan, kebijakan system pembayaran
akan diarahkan untuk mempercepat pengembangan dan implementasi suatu system
pembayaran yang efisien, akurat, aman, dan konsisten melalui peningkatan
kualitas layanan. Salah satu cara untuk mencapai hal tersebut adalah melalui
implemnetasi Real Time Gross Settlement System (BI-RTGS) yang sudah dimulai
sejak 17 November tahun 2000 di Jakarta.
Tujuan RTGS:
1. Memberikan pelayanan sistem transfer dana antar peserta,
antar nasabah peserta dan pihak lainnya secara cepat, aman, dan efisien
2. Memberikan kepastian pembayaran
3. Memperlancar aliran pembayaran (payment flows)
4. Mengurangi resiko settlement baik bagi peserta maupun
nasabah peserta (systemic risk)
5. Meningkatkan efektifitas pengelolaan dana (management
fund) bagi peserta melalui sentralisasi rekening giro
6. Memberikan informasi yang mendukung kebijakan moneter dan
early warning system bagi pengawasan bank
7. Meningkatkan efisiensi pasar uang
Karakteristik
1. V Shaped Structure
2. Transfer mechanism
3. Window Time
4. No Money No Game
5. Capping
6. Queue Management and Gridlock Resolution
7. Intraday Liquidity Facility
8. Bye-Laws
9. Information Technology Security and Disaster Recovery
Plan
10. Future Plan
Mekanisme Transfer
1. Bank pengirim memasukkan transfer kredit ke terminal RTGS
yang ada di bank tersebut yang selanjutnya akan dikirim ke RTGS Computer Center
(RCC) di Bank Indonesia
2. RCC akan memproses transfer kredit tersebut dengan
mekanisme sebagai berikut:
• Memverifikasi apakah saldo rekening bank pengirim lebih
besar atau sama dengan jumlah nominal dari transfer kredit tersebut
• Jika saldo tersebut mencukupi, maka proses akan dieksekusi
sacara simultan sehingga rekening bank pengirim dikurangi dan rekening bank
penerima akan ditambah secara otomatis
• Jika saldo rekening bank pengirim tidak mencukupi makan
transfer kredit tersebut akan ditempatkan dalam antrian di dalam mesin RTGS
3. Informasi mengenai transfer kredut akan dikirimkan secara
otomatis ke RCC, RTGS terminal bank pengirim, dan bank penerima.
Manajemen Antrian
1. Sistem antrian pada BI-RTGS didasarkan pada priority
level and first in first out (FIFO)
2. Modul antrian dalam BI-RTGS dilengkapi dengan bypass FIFO
facility yang beroperasi otomatis jika antrian mencapai jumlah tertentu, dengan
tujuan untuk mengurangi jumlah antrian
3. Tingkat prioritas antriannya adalah sebagai berikut:
• Prioritas pertama : Hasil kliring
• Prioritas kedua : Transaksi bank dengan BI/pemerintah
• Prioritas ketiga : Transfer kredit dari bank peserta
BI-RTGS
SISTEM PERBANKAN ELEKTRONIK
a. SISTEM PERBANKAN ELEKTRONIK
Inovasi perbankan berbasis teknologi informasi di industri
perbankan dewasa ini memberikan dampak efisiensi dan efektivitas yang luar
biasa. Sebagai contoh, adanya produk-produk electronic banking seperti ATM,
Kartu Kredit, Kartu Debet, Internet Banking, SMS/mobile banking, phone banking,
dll, telah mendorong layanan perbankan menjadi relatif tidak terbatas, baik
dari sisi waktu maupun dari sisi jangkauan geografis. Hal ini pada gilirannya
telah meningkatkan volume dan nilai nominal transaksi keuangan di perbankan
secara sangat signifikan.
Berdasarkan data di Bank Indonesia, transaksi elektronik
yang dilakukan dengan menggunakan kartu (kartu kredit, kartu debet, ATM, kartu
ATM + debet) di Indonesia selama jangka waktu Januari s/d Agustus 2008, jumlah
transaksi yang terjadi adalah sebanyak 980,4 juta transaksi dengan nilai
nominal transaksi Rp1.463 triliun, dan jumlah kartu yang beredar sebanyak 51,35
juta kartu yang diterbitkan oleh 118 penyelenggara (53 penerbit kartu ATM, 20
penerbit kartu kredit, 38 penerbit kartu ATM+Debet, dan 7 penerbit kartu
prabayar)
b. Jenis-jenis E-Banking
Automated teller machine (ATM). Terminal elektronik yang
idsediakan lembaga keuangan atau perusahaan lainnya yang membolehkan nasabah
untuk melakukan penarikan tunai dari rekening simpanannya di bank, melakukan
setoran, cek saldo, atau pemindahan dana.
Computer banking. Layanan bank yang bisa diakses oleh
nasabah melalui koneksi internet ke pusat pusat data bank, untuk melakukan
beberapa layanan perbankan, menerima dan membayar tagihan, dan lain-lain.
Debit (or check) card. Akrtu yang digunakan pada ATM atau
terminal point-of-sale (POS) yang memungkinkan pelanggan memperoleh dana yang
langsung didebet (diambil) dari rekening banknya.
Direct deposit. Salah satu bentuk pembayaran yang dilakukan
oleh organisasi (misalnya pemberi kerja atau instansi pemerintah) yang membayar
sejumlah dana (misalnya gaji atau pensiun) melalui transfer elektronik. Dana
ditransfer langsung ke setiap rekening nasabah.
Direct payment (also electronic bill payment). Salah satu
bentuk pembayaran yang mengizinkan nasabah untuk membayar tagihan melalui
transfer dana elektronik. Dana tersebut secara elektronik ditransfer dari
rekening nasabah ke rekening kreditor. Direct payment berbeda dari
preauthorized debit dalam hal ini, nasabah harus menginisiasi setiap transaksi
direct payment.
Electronic bill presentment and payment (EBPP). Bentuk
pembayaran tagihan yang disampaikan atau diinformasikan ke nasabah atau
pelanggan secara online, misalnya melalui email atau catatan dalam rekening
bank. Setelah penyampaian tagihan tersebut, pelanggan boleh membayar taguhan
tersebut secara online juga jika berkenan. Pembayaran tersebut secara
elektronik akan mengurangi saldo simpanan pelanggan tersebut.
Electronic check conversion. Proses konversi informasi yang
tertuang dalam cek (number rekening, jumlah transaksi, dll) ke dalam format
elektronik agar bisa dilakukan pemindahan dana elektronik.
Electronic fund transfer (EFT). Perpindahan “uang” atau
“pinjaman” dari satu rekening ke rekening lainnya melalui media elektronik..
Payroll card. Salah satu tipe “stored-value card” yang
diterbitkan pemberi kerja sebagai pengganti cek yang memungkinkan pegawainya
mengakses pembayaraannya pada terminal ATM atau Point of Sales. Pemberi kerja
menambahkan nilai pembayaran pegawai ke kartu tersebut secara elektronik.
Preauthorized debit (or automatic bill payment). Bentuk
pembuayaran yang mengizinkan nasabah untuk mengotorisasi pembayaran rutin
otomatis yang diambil dari rekening banknya pada tanggal-tangal tertentu dan
biasanya dengan jumlah pembayaran tertentu (misalnya pembayaran listrik,
tagihan telpon, dll). Dana secara elektronik ditransfer dari rekening pelanggan
ke rekening kreditor (misalnya PLN atau PT Telkom).
Prepaid card. Salah satu tipe Stored-value card yang
menyimpan nilai moneter di dalamnya dan sebelumnya pelanggan sudah membayar
nilai tersebut ke penerbit kartu.
Smart card. Salah satu tipe stored-value card yang
didalamnya tertanam satu atau lebih chips atau microprocessors sehingga bisa
menyimpan data, melakukan perhitungan, atau melakukan proses untuk tujuan
khusus (misalnya validasi PIN, otorisasi pembelian, verifikasi saldo rekening,
dan menyimpan data pribadi). Kartu ini bisa digunakan pada system terbuka
(misalnya untuk pembayaran transportasi public) atau system tertutup (misalnya
MasterCard atau Visa networks).
Posting Komentar