PERAN PELAKU EKONOMI DALAM SISTEM EKONOMI PANCASILA

PERAN PELAKU EKONOMI DALAM SISTEM EKONOMI PANCASILA

BAB I
PENDAHULUAN
Saya mengucapkan terimakasih atas undangan untuk berbicara dalam Rapat Kerja
Nasional Pancasila 21 BP7 Pusat dengan tema: “Pembudayaan Pancasila sebagai Ideologi
Terbuka dalam Era Globalisasi”. Dalam rapat kerja ini saya diminta untuk berbicara mengenai pengembangan jatidiri pelaku ekonomi dan konsumen Indonesia. Topik yang diberikan kepada saya telah merangsang saya untuk melakukan kontemplasi mengenai berbagai aspek dalam arah pembangunan nasional kita, terutama dengan makin kencangnya arus yang membawa biduk negara kita ke samudera besar yang kita sebut sebagai era global. Saya mengubah judulnya untuk memberi keleluasaan kepada saya untuk membahas tema itu secara lebih konseptual.
Dari judul-judul itu saja, kita bisa menangkap bahwa ada “concern” atau kegalauan
dalam diri para penyelenggara pertemuan ini, mengenai bagaimana kita mempertahankan nilai-nilai yang mendasar bagi bangsa kita, dalam era keterbukaan dan “keduniaan”, agar tidak meluntur. Bagaimana kita mempertahankan nilai-nilai dasar kita, yang menjadi sumber jatidiri kita, jelas merupakan tantangan yang tidak kecil.
Tampaknya, dari judul yang diberikan kepada saya, saya diminta untuk menyumbangkan
pikiran mengenai aspek ekonomi dari persoalan yang sedang kita hadapi itu.
Secara singkat saya ingin mengantarkannya dengan membahas sedikit mengenai
fenomena globalisasi itu sendiri.

BAB II
Globalisasi Sebagai Proses Peleburan Nilai
Dari sudut pandang ekonomi, pengertian paling mendasar dari proses globalisasi adalah
perluasan dan pendalaman integrasi pasar barang, jasa dan keuangan antar negara di dunia. Dalam sepuluh tahun terakhir, proses globalisasi dan integrasi itu telah mengalami percepatan karena dorongan universal untuk liberalisasi dan terobosan teknologi informasi, transportasi serta komunikasi yang menyebabkan akselerasi produksi dan distribusi secara internasional.
Kemajuan teknologi yang menyebabkan penurunan biaya transportasi dan komunikasi
telah mengurangi jarak antar negara karena penurunan biaya transaksi barang-barang, jasa, dan informasi. Kegiatan produksi dapat dilakukan dimanapun, dengan bahan mentah atau setengah jadi serta komponen dari mana pun dan untuk dipasarkan di mana pun juga. Pada dasarnya yang terjadi adalah peningkatan spesialisasi atau pembagian kerja proses produksi antar negara berdasarkan keunggulan komparatifnya. Dengan peningkatan spesialisasi tersebut, secara teoritis semua bangsa akan diuntungkan karena ketersediaan barang dan jasa makin meningkat dengan harga yang lebih terjangkau. Peningkatan produksi berarti juga peningkatan lapangan kerja, dan berarti juga peningkatan kesejahteraan.
Namun, proses globalisasi tidak hanya berdampak positif, tetapi juga dapat berdampak
merugikan. Salah satu contohnya adalah gejolak moneter yang melanda negara kita dan beberapa negara tetangga yang telah melemahkan perekonomian kita dan negara-negara di kawasan ini. Ada juga kekhawatiran bahwa globalisasi dapat memperlebar perasaan kesenjangan karena makin tajamnya perbedaan dalam laju kecepatan kemajuan antara lapisan masyarakat yang kuat dan yang lemah.
Globalisasi tidak hanya berkenaan dengan mekanisme hubungan ekonomi antar bangsa,
tetapi secara lebih mendasar merupakan proses universalisasi nilai-nilai. Gagasan-gagasan
bergerak bebas. Kita harus siap menerima kenyataan bahwa banyak hal yang telah menjadi
keyakinan selama ini akan dipertanyakan dan diuji keabsahannya atau relevansinya. Kita harus sudah memperhitungkan bahwa sistem kenegaraan dan pandangan-pandangan yang melandasinya akan terus menerus diuji dan ditantang. Karena itu, dalam proses globalisasi kita tidak boleh hilang kemudi, betapa pun kuat arus yang membawanya. Kemudi ini adalah nilai yang dikandung pada waktu bangsa ini memproklamasikan kemerdekaannya. Dengan demikian jatidiri bangsa akan terpelihara, bahkan diperkaya dengan berbagai gagasan baru tersebut. Sebaliknya, jika kita hilang kemudi, maka kita akan terhanyut oleh perubahan-perubahan itu sehingga arah perjalanan bangsa menjadi tidak menentu.

BAB III
Sistem Ekonomi Pancasila
Dalam konsep kita pembangunan nasional adalah pengamalan Pancasila. Pembangunan
ekonomi kita pun harus berlandaskan Pancasila, sebagai dasar, tujuan dan pedoman dalam
penyelenggaraannya. Dengan dasar pemikiran tersebut, maka sistem ekonomi yang ingin kita bangun adalah sistem ekonomi Pancasila.
Saya mengetahui bahwa banyak pakar telah mencoba merumuskan apa yang dimaksud
dengan Ekonomi Pancasila. Tampaknya selama ini belum tercapai konsensus ke arah satu
pengertian. Bahkan banyak yang mencoba menghindari menggunakan istilah itu. Saya bisa
memahami kalau selama ini ada kekhawatiran dalam merumuskan Ekonomi Pancasila, oleh
karena memang kondisi ekonomi kita pada waktu yang lalu masih begitu tertinggalnya, sehingga berbicara mengenai idealisme yang demikian akan dirasakan bertentangan dengan kenyataan dalam kehidupan yang sesungguhnya.
Namun, dewasa ini saya berpendapat bahwa sudah saatnya kita menentukan sikap dan
membulatkan niat untuk membangun ekonomi menuju arah sesuai cita-cita para pendiri Republik ini.
Pembangunan selama ini telah memberikan hasil yang cukup nyata dalam meningkatkan
kesejahteraan dan kemampuan ekonomi nasional, sehingga memberikan modal dan kesempatan kepada kita untuk memikirkan lebih jauh idealisme pembangunan dan menjabarkannya dalam konsep-konsep yang operasional, yang secara bertahap membawa kita ke tujuan itu.
Jelas tidak akan mudah bagi kita untuk mengembangkan konsep ini, karena sebagai
konsep ekonomi dan konsep pembangunan harus memenuhi berbagai syarat, di samping
idealisme atau pandangan-pandangan yang normatif, harus juga memenuhi kaidah-kaidah ilmiah, sehingga ada asas-asas objektif dan rasional yang dapat dikembangkan. Namun, kita juga tidak berhenti mengupayakannya semata-mata karena belum ada atau belum banyak literatur yang secara mendalam mengkaji konsep ini. Justru kita harus memulainya dan mengembangkan konsensus ke arah itu.
Sebelum melanjutkan, kiranya saya perlu mendudukkan dulu apa yang dimaksud dengan
sistem ekonomi.
Sistem ekonomi dimengerti sebagai kumpulan dari institusi yang terintegrasi dan
berfungsi serta beroperasi sebagai suatu kesatuan untuk mencapai suatu tujuan (ekonomi) tertentu. Institusi di sini diartikan secara luas sebagai kumpulan dari norma-norma, peraturan atau cara berfikir. Adanya berbagai institusi tersebut dapat mengurangi ketidakpastian dengan memberikan bentuk atau struktur dasar sebagai pedoman dalam kehidupan sehari-hari. Dalam pengertian institusi ini juga termasuk institusi ekonomi seperti rumah tangga, pemerintah, kekayaan, uang, serikat pekerja, dan lain-lain.
Dalam suatu perekonomian, setidaknya terdapat 4 (empat) jenis keputusan yang harus
diambil setiap waktu. Keputusan-keputusan tersebut adalah yang berkaitan dengan apa yang akan diproduksi, berapa banyak produksi, bagaimana cara memproduksinya, dan bagaimana alokasi produk tersebut. Bagaimana keputusan tersebut diambil tergantung kepada sistem ekonomi yang dianut oleh masyarakat atau negara tersebut.
Berdasarkan mekanisme koordinasi pengambilan keputusan, kita mengenal dua sistem
ekonomi, yaitu ekonomi pasar dan ekonomi komando. Dalam sistem ekonomi pasar, keputusankeputusan seperti tersebut di atas diambil oleh pelaku ekonomi melalui mekanisme pasar yang juga disebut mekanisme harga. Dengan kata lain, pengambilan keputusan sangat terdesentralisasi. Pada sistem ekonomi komando, keputusan diambil berdasarkan suatu komando atau rencana yang terperinci mengenai apa yang harus diproduksi, berapa banyak, bagaimana memproduksinya, dan
lain-lain.
Di samping pengambilan keputusan seperti tersebut di atas, ciri lain dari suatu
perekonomian adalah pemilikan aset produktif. Dalam sistem ekonomi kapitalis, aset-aset produktif dimiliki oleh individu atau swasta, sedangkan dalam sistem ekonomi sosialis, aset produktif dikuasai oleh masyarakat yang diwakili oleh pemerintah.
Masing-masing sistem tersebut mempunyak kekuatan dan kelemahannya. Oleh
karenanya, dalam dunia nyata yang kita kenal adalah sistem ekonomi campuran.
Sistem ekonomi kita, menganut paham ekonomi pasar, atau menurut istilah yang
digunakan oleh Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI) ekonomi pasar terkendali (tahun 1990) atau ekonomi pasar terkelola (tahun 1996).
Apabila pengertian itu yang akan kita anut, karena datang dari pakar-pakarnya, maka kata
kuncinya adalah terkelola. Menurut hemat saya yang dimaksud dengan sistem ekonomi Pancasila adalah sistem ekonomi pasar yang terkelola dan kendali pengelolaannya adalah nilai-nilai Pancasila.
Dengan perkataan lain ekonomi Pancasila tentulah harus dijiwai oleh nilai-nilai Pancasila.
Atas dasar itu maka Ekonomi Pancasila tidak semata-mata bersifat materialistis, karena
berlandaskan pada keimanan dan ketakwaan yang timbul dari pengakuan kita pada Ketuhanan Yang Maha Esa. Keimanan dan ketakwaan menjadi landasan spiritual, moral dan etik bagi penyelenggaraan ekonomi dan pembangunan. Dengan demikian sistem ekonomi Pancasila dikendalikan oleh kaidah-kaidah moral dan etika, sehingga pembangunan nasional kita adalah pembangunan yang berakhlak.
Ekonomi Pancasila, dengan nilai kemanusiaan yang adil dan beradab, menghormati
martabat kemanusiaan serta hak dan kewajiban asasi manusia dalam kehidupan ekonomi. Dengan dasar-dasar moral dan kemanusiaan seperti di atas Ekonomi Pancasila meskipun tidak menghalangi motivasi ekonomi untuk memperoleh keuntungan, namun tidak mengenal predator-predator ekonomi, yang satu memangsa yang lain.
Ekonomi Pancasila berakar di bumi Indonesia. Meskipun ekonomi dunia sudah menyatu,
pasar sudah menjadi global, namun ekonomi Indonesia tetap diabdikan bagi kesejahteraan dan kemajuan bangsa Indonesia. Sila Persatuan Indonesia mengamanatkan kesatuan ekonomi sebagai penjabaran wawasan nusantara di bidang ekonomi. Globalisasi kegiatan ekonomi tidak menyebabkan internasionalisasi kepentingan ekonomi. Kepentingan ekonomi kita tetap diabdikan untuk kepentingan bangsa Indonesia. Ekonomi Pancasila dengan demikian berwawasan kebangsaan dan tetap membutuhkan sikap patriotik meskipun kegiatannya sudah mengglobal.
Sila keempat dalam Pancasila menunjukkan pandangan bangsa Indonesia mengenai
kedaulatan rakyat dan bagaimana demokrasi dijalankan di Indonesia. Di bidang ekonomi,
Ekonomi Pancasila dikelola dalam sebuah sistem demokratis yang dalam Undang-undang Dasar secara eksplisit disebut demokrasi ekonomi.
Nilai-nilai dasar sila kelima, keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, menunjukkan
betapa seluruh upaya pembangunan kita, untuk mengembangkan pertumbuhan ekonomi dikaitkan dengan pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya menuju kepada terciptanya kemakmuran yang berkeadilan bagi seluruh rakyat Indonesia dalam sistem ekonomi yang disusun sebagai usaha bersama berdasarkan atas asas kekeluargaan.

BAB IV
Peran Pelaku Ekonomi
Setelah mencoba mengupayakan pengertian-pengertian sistem ekonomi yang bagaimana
yang ingin kita bangun pada tataran filosofis, tantangan berikutnya adalah bagaimana
mengoperasionalkannya.
Sesungguhnya dalam Undang-undang Dasar beberapa petunjuk ke arah itu telah ada
dalam berbagai pasalnya. Pasal 23, 27 ayat (1), pasal 33 dan juga pasal 34 memberikan kepada kita petunjuk-petunjuk mengenai bagaimana konsep ekonomi harus dikembangkan berdasarkan Undang-undang Dasar.
Bahkan dalam pasal 33 ada penjelasan yang cukup rinci mengenai apa yang dikehendaki
oleh Undang-undang Dasar, mengenai bagaimana ekonomi kita harus dikelola dan dikembangkan.
Tantangan bagi kita sekarang adalah bagaimana secara tepat kita menjabarkannya dalam
konsep-konsep pembangunan.
Dalam upaya itu jelas tidak ada jalan yang lurus dan mulus. Kadang-kadang kita harus
berbelok ke kiri, berbelok ke kanan, bahkan kadang-kadang harus mundur dulu sedikit kemudian maju lagi. Yang penting kita harus menjaga bahwa arahnya tetap konsisten, betapa pun dari saat ke saat kebijaksanaan-kebijaksanaan pembangunan harus disesuaikan dengan situasi. Betapa pun juga kita telah menyatakan bahwa Pancasila adalah ideologi terbuka, yang terus berkembang mengikuti dinamik masyarakat. Namun, nilai-nilai dasarnya tidak pernah berubah. Oleh karena itu, UUD 1945 mengamanatkan bahwa dengan mengingat dinamik masyarakat, sekali dalam 5 tahun MPR memperhatikan segala yang terjadi dan segala aliran-aliran pada waktu itu serta menentukan haluan-haluan apa yang hendaknya dipakai untuk di kemudian hari. Petunjuk-petunjuk itu dituangkan dalam GBHN.
Upaya untuk menjabarkan amanat konstitusi sesuai dengan perkembangan situasi telah
dilakukan sejak PJP I, GBHN demi GBHN, sampai GBHN 1993. Sekarang kita sedang dalam persiapan menyusun bahan-bahan untuk GBHN 1998.
Dalam tataran operasional, yang sangat diperlukan adalah konsep mengenai bagaimana
peran para pelaku ekonomi dalam sistem ekonomi Pancasila, dalam menghadapi tantangan-tantangan besar di masa depan. Dua di antaranya sangat menonjol, yaitu (1) menghadapi ekonomi global dengan meningkatkan daya saing, dan (2) membangun semua potensi ekonomi di dalam negeri agar tumbuh kuat dan dapat turut menyumbang kepada kekuatan ekonomi nasional.
Pelaku ekonomi dimaksudkan terdiri dari masyarakat sebagai produsen barang dan jasa
atau disebut juga sebagai dunia usaha, masyarakat sebagai konsumen dan pemerintah yang
mengatur bekerjanya berbagai institusi ekonomi.
Dalam sistem ekonomi kita dikenal adanya 3 bentuk usaha atau bangun usaha, yaitu
usaha negara, koperasi, dan usaha swasta. Bagaimana masing-masing berperan, memang
merupakan topik pembahasan dan perdebatan yang telah banyak dilakukan sejak kita kembali ke Undang-undang Dasar (UUD) 1945 di tahun 1959. Berbagai usaha telah dilakukan untuk menafsirkan amanat UUD 1945 dalam pasal 33. Bahkan ada di antaranya yang kemudian kita anggap tidak sejalan dengan jiwa dan semangat UUD 1945 itu, seperti sistem ekonomi terpimpin.
Dalam masa Orde Baru hingga sekarang usaha untuk mewujudkan amanat UUD itu terus
berlanjut.
Saya bisa mengambil sebuah contoh. Pada tahun 1990, ISEI dalam kongres ke XI telah
mengupayakan untuk menjabarkan bagaimana peran para pelaku ekonomi dalam sistem ekonomi yang ingin kita tegakkan.
Menurut ISEI, di dalam sistem ekonomi yang berlandaskan Demokrasi Ekonomi, usaha
negara, koperasi, dan usaha swasta dapat bergerak di dalam semua bidang usaha sesuai dengan peranan dan hakikatnya masing-masing. Dalam konsep itu, usaha negara berperan sebagai: (a) perintis di dalam penyediaan barang dan jasa di bidang-bidang produksi yang belum cukup atau kurang merangsang prakarsa dan minat pengusaha swasta; (b) pengelola dan pengusaha di bidang-bidang produksi yang penting bagi negara; (c) pengelola dan pengusaha di bidang-bidang produksi yang menguasai hajat hidup orang banyak; (d) imbangan bagi kekuatan pasar pengusaha swasta; (e) pelengkap penyediaan barang dan jasa yang belum cukup disediakan oleh swasta dan koperasi, dan (f) penunjang pelaksanaan kebijaksanaan negara.
Selanjutnya koperasi sebagai salah satu bentuk badan usaha yang sesuai dengan ketentuan
Undang-undang Dasar 1945, diberi kesempatan seluas-luasnya untuk berperan sesuai dengan hakikatnya sebagai kesatuan ekonomi yang berwatak sosial. Sedangkan usaha swasta diberi peranan yang sebesar-besarnya di dalam bidang-bidang di mana persaingan dan kerja sama berdasarkan motivasi memperoleh laba memberikan hasil terbaik bagi masyarakat diukur dengan jenis, jumlah, mutu dan harga barang dan jasa yang dapat disediakan.
Dengan mengambil pandangan-pandangan ISEI itu, saya ingin menunjukkan betapa para
pakar kita telah berupaya untuk menjabarkan lebih lanjut pemikiran-pemikiran dasar kita itu. Berbagai usaha tersebut harus kita lanjutkan. Kita perlu lebih memperdalam lagi rumusan tentang peran negara, koperasi dan usaha swasta dalam sistem ekonomi Pancasila tersebut.
Mengingat masyarakat kita terus berkembang dan kita hidup sebagai bagian dari
masyarakat dunia yang terus berkembang pula, konsep-konsep itu haruslah tidak kaku dan statis, tetapi luwes dan lentur, serta memungkinkan berkembang sesuai dengan dinamika perubahan yang terus menerus terjadi. Namun, hal-hal yang mendasar seperti nilai-nilai utama yang tadi telah saya kemukakan tidak perlu bahkan tidak seyogyanya berubah.
Salah satu tantangan kita sekarang adalah bagaimana membangun usaha swasta agar
dapat memotori mesin ekonomi kita dalam memasuki era perdagangan bebas. Bagaimana kita
membantu usaha swasta kita untuk terus menerus meningkatkan dan memelihara daya saing.
Daya saing swasta kita merupakan komponen penting dalam daya saing nasional.
Untuk meningkatkan daya saing perlu ditingkatkan efisiensi dan produktivitas sumber
daya yang kita miliki. Ini harus menjadi agenda nasional bangsa kita.
Selanjutnya, perlu pula dipikirkan bagaimana kita memperbaiki struktur dunia usaha kita
yang masih timpang, agar lebih kukuh dan seimbang; yakni struktur dunia usaha di mana usaha besar, menengah dan kecil saling bersinergi dan saling memperkuat dengan lapisan usaha menengah sebagai tulang punggungnya. Persoalan kita bukan ukurannya besar atau kecil, tetapi daya tahan dan daya saingnya. Yang besar tetapi lemah tidak ada manfaatnya, yang kecil tetapi kuat justru merupakan unsur yang penting terhadap keseluruhan sistem ekonomi kita. Oleh karena itu, agenda pembangunan kita bukan mempertentangkan yang besar dengan yang kecil, tetapi membangun semua potensi yang kita miliki.
Dalam proses itu yang besar dan kecil harus bekerja sama, bermitra, untuk bersama-sama
saling dukung dan saling memperkuat. Kita harus ingat pesan Undang-undang Dasar mengenai asas kekeluargaan dalam menyelenggarakan ekonomi.
Konsumen adalah juga pelaku ekonomi. Kita menghendaki agar perilaku konsumen
Indonesia memperkuat upaya kita untuk membangun wujud masyarakat yang kita harapkan, yaitu yang maju, mandiri, sejahtera, dan berkeadilan.
Pertama, konsumen diharapkan memberi penghargaan dan mengutamakan penggunaan produk hasil bangsanya sendiri. Hal ini sering dikatakan sebagai cermin nasionalisme baru.
Sikap mendahulukan penggunaan produksi dalam negeri, tidak bertentangan dengan perjanjian-perjanjian perdagangan internasional, karena bersangkutan dengan pilihan yang bebas dan bukan karena paksaan atau dibatasinya pilihan atau hak untuk memilih. Sikap serupa itu justru akan menjamin pertumbuhan kemampuan produksi nasional secara berkesinambungan. Pada gilirannya akan mendorong proses kemandirian bangsa.
Kedua, konsumen Indonesia harus memperhatikan nilai-nilai kepatutan menurut agama
dan budaya masyarakat.
Pola konsumsi yang bertentangan dengan nilai-nilai agama dan budaya masyarakat, jelas
tidak sesuai dengan semangat tenggang rasa dan saling menghormati keyakinan, dan dapat
menimbulkan suasana permusuhan dan pertentangan, sehingga melemahkan keutuhan bangsa.
Ketiga, konsumen Indonesia harus memperhatikan pula taraf hidup masyarakat di
sekitarnya. Pola konsumsi yang berlebihan, yang mewah di atas kewajaran, apalagi di tengah masyarakat yang miskin, akan menyebabkan kecemburuan sosial dan mempertajam kesenjangan. Akibatnya mudah sekali terjadi konflik-konflik sosial. Konflik-konflik sosial lebih mudah muncul ke permukaan oleh karena tidak adanya rasa solidaritas, sebagai akibat menyoloknya perbedaan gaya hidup.
Oleh karena itu, pada waktu kita berbicara mengenai pengembangan jatidiri para pelaku
ekonomi, kita tidak hanya berbicara mengenai masyarakat sebagai pelaku ekonomi produsen tetapi juga sebagai pelaku ekonomi konsumen.
Peran pemerintah jelaslah tidak kecil. Saya berpendapat bahwa pemerintah harus
mengemban tiga peran sekaligus.
Pertama, dalam upaya pemerataan dan membangun keadilan pemerintah harus berada di
depan, Ing Ngarso Sung tulodo. Upaya mengentaskan penduduk dari kemiskinan, memeratakan pembangunan antardaerah, menghilangkan kesenjangan, haruslah menjadi tanggung jawab pemerintah dan pemerintah harus memeloporinya. Dalam upaya membangun rasa adil dan menciptakan rasa aman dan rasa tenteram dalam masyarakat, pemerintah harus berada di depan, menunjukkan jalan dan memberi keteladanan. Pemerintah harus memelopori terbentuknya institusi sosial dan ekonomi yang mendorong berkembangnya potensi ekonomi dan berperannya secara optimal pelaku-pelaku ekonomi masyarakat.
Kedua, dalam berbagai upaya pembangunan pemerintah harus bekerja bersama
masyarakat dan menggerakkan kegiatan pembangunan oleh masyarakat.
Pemerintah harus Ing Madyo Mangun Karso. Dalam berbagai usaha produksi di mana
masyarakat belum sepenuhnya mampu tanpa ditopang oleh pemerintah, pemerintah harus
mendukungnya. Misalnya, membangun prasarana untuk mendorong kegiatan investasi
masyarakat. Pemerintah membangun jalan, tenaga listrik, irigasi, untuk mendorong kegiatan
ekonomi masyarakat. Bahkan mungkin masih harus mengelola prasarana tersebut agar dapat
terus berfungsi untuk mendukung kegiatan ekonomi masyarakat.
Ketiga, dalam hal masyarakat sendiri sudah sepenuhnya dapat berperan, maka peran
pemerintah adalah Tut Wuri Handayani. Itulah yang dimaksudkan pada waktu kita mengatakan bahwa dalam konsep pembangunan kita masyarakat adalah pelaku utama pembangunan dan pemerintah berkewajiban untuk mengarahkan, membimbing serta menciptakan suasana yang menunjang. Misalnya, dalam kegiatan mendorong ekspor, yang dilakukan oleh dunia usaha kita, atau mendorong pariwisata. Apabila hambatan-hambatan yang disebabkan baik oleh peraturan dari pemerintah sendiri ataupun hambatan lainnya dapat ditiadakan, sudah akan sangat menolong. Apalagi kalau ditopang oleh peraturan-peraturan dan kebijaksanaan-kebijaksanaan yang menunjang.

BAB V
Penutup
Demikianlah, pikiran-pikiran awal mengenai peran pelaku ekonomi dalam sistem
ekonomi Pancasila, yaitu sistem ekonomi yang berlandaskan nilai-nilai yang menjadi jatidiri
bangsa kita.
Sebagai kesimpulan, saya ingin menggarisbawahi bahwa kita harus secara sungguhsungguh
melanjutkan upaya untuk menyusun konsep ekonomi nasional yang berlandaskan nilainilai
dasar yang menjadi semangat bangsa ini pada waktu memerdekakan diri. Konsep tersebut
selain harus menjamin arah terwujudnya berbagai cita-cita itu, juga harus dapat menjawab dua tantangan besar yang dewasa ini berada di hadapan kita, yaitu memenangkan persaingan dalam era globalisasi dan membangun segenap potensi yang ada, dengan perhatian pada upaya memberdayakan masyarakat yang ekonominya tertinggal, sehingga dapat berperan secara aktif dalam kegiatan ekonomi nasional.
Kita menyaksikan di sekeliling kita bahwa semua sedang berubah. Dunia sedang dalam
proses perubahan. Masyarakat kita juga sedang dalam proses perubahan. Kita tidak boleh hanyut begitu saja dalam proses perubahan itu, tetapi kita harus tetap berpegang pada jatidiri kita yang dilandasi oleh nilai-nilai Pancasila. Oleh karena itu, peran BP7 dalam memberikan pembekalan P4 kepada masyarakat semakin ditantang dengan menyempurnakan metode maupun cara penyajiannya. Mudah-mudahan makalah ini ada manfaatnya.

Sumber : Ginandjar Kartasasmita
(Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Ketua Bappenas)

Posting Komentar

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. Tugas Softskill - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template | Distributed By: BloggerBulk
Proudly powered by Blogger